Tim Agama dan Politik Pusat Penelitian Politik LIPI merilis hasil penelitian mengenai Qatar dan Krisis Diplomatik di Timur Tengah. Hasil penelitian tersebut disampaikan dalam kegiatan media briefing di Media Center LIPI Senin, 19 Juli 2017.
Kegiatan dibuka oleh Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, Deputi IPSK LIPI. Ia menyampaikan pentingnya media briefing ini agar masyarakat dapat mengetahui hasil kajian yang dilakukan oleh LIPI. Hasil kajian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah Indonesia.
Tim Agama dan Politik merujuk pada hasil penelitiannya pada tahun 2016 telah memprediksi konflik dan krisis diplomatik yang terjadi di Qatar pada saat ini terjadi.
Tim menyampaikan ada beberapa faktor yang menyebabkan konflik ini terjadi. Baik dari aspek politik maupun ekonomi. Ada beberapa kebijakan negara Qatar yang begitu bersebrangan dengan Arab Saudi dan negara-negara lain di sekitarnya. Misalnya saja mengenai perbedaan pandangan politik terkait keberpihakan terhadap Ikhwanul Muslimin, Hamas, dan kelompok-kelompok oposisi pemerintah atau pro demokrasi di negara-negara lain ketika mayoritas Arab telah mengelompokan organisasi tersebut sebagai organisasi radikal yang mengancam stabilitas dan keamanan.
Selain itu jika merujuk sejarah diplomatik antara Qatar dengan negara lain di kawasan TImur Tengah pernah terjadi sebelumnya. Pada tahun Arab Saudi menarik Duta Besarnya dari Doha. Pada tahun 2014 Arab Saudi, Bahrain, dan Uni Emirat Arab juga menarik Duta Besarnya dari Doha.
Ada beberapa tawaran dari tim peneliti mengenai kondisi yang terjadi saat ini. Nostalgiawan Wahyudi, salah satu anggota tim kajian menyampaikan tiga hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Pertama, pemerintah Indonesia hendaknya tidak mengambil sikap politik hitam putih dengan berpihak kepada salah satu negara. Pemerintah Indonesia harus mengambil peranan dan mendorong upaya untuk merajut kembali kawat diplomatik yang terputus antara Qatar dengan negara di kawasan Timur Tengah lainnya.
Kedua, pemerintah indonesia bisa menawarkan diri sebagai fasilitator perdamaian. Karena posisi indonesia sebagai middle power belum memiliki diplomatic pressure yang kuat terhadap negara-negara yang berkonflik sehingga peran sebagai mediator akan sulit dilakukan dan hanya bisa sebagai fasilitator. Indonesia lanjut Nostalgiawan dapat menyediakan tempat dialog perdamaian bagi Qatar dan negara-negara yang sedang bersitegang.
Ketiga, negara super power seperti Amerika Serikat, Rusia dan Tiongkok atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dapat menjadi mediator yang efektif untuk meredakan ketegangan yang terjadi saat ini.(Anggi Afriansyah)