Dalam rangka menyemarakkan hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei 2017, Puslit Kependudukan LIPI bekerjasama dengan Forum Pendidikan menyelenggarakan suatu Diskusi Round Table dengan tema “Retrospeksi Arah Pendidikan Nasional.”  Acara tersebut diselenggarakan pada hari Selasa tanggal 2 Mei 2017 mulai pukul 13.00 sampai dengan pk 15.30 di Ruang Rapat Besar lantai 10 Gedung Widya Graha LIPI. Adapun sebagai pembicara pemicu diskusi ada tiga orang dengan moderator Anggi Afriansyah.

Pembicara pertama: Dr. Jimmy Ph. Paat yang merupakan akademisi dari Universitas Negeri Jakarta yang membahas tentang : “Filsafat Pendidikan Nasional.”

Pembicara kedua: Dr. Andy Ahmad Zaelany dari Puslit Kependudukan LIPI yang berbicara tentang : “Menimbang Tradisi Keilmuan dan Isu Orientasi Pendidikan yang Kebarat-baratan.”

Pembicara ketiga: Doni Koesoema Albertus M.Ed. yang merupakan praktisi pendidikan dan Direktur Pendidikan Karakter Education Consulting, berbicara tentang “Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter sebagai Poros Kinerja Pendidikan.”

 Diskusi 2 Mei 2017

Beginilah diskusi yang penuh antusias yang diikuti peneliti LIPI, Kemendikbud,

Dosen, Guru, Pengamat Pendidikan, dll (Foto : Anggi)

Diskusi ini diselenggarakan ditengah kegalauan banyak pihak  akan arah pendidikan nasional yang dirasakan semakin jauh dari cita-cita semula untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan bangsa ini dan sebagai proses pemerdekaan diri dari warga negara Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat serta sejahtera. Diskusi kali ini akan menelaah tiga elemen besar dari pendidikan yaitu, 1) kegamangan dan semakin mengaburnya mazhab apa sebenarnya yang menjadi filosofi pendidikan nasional, serta apakah sudah tepat filosofi pendidikan yang diterapkan tersebut; 2) masalah tradisi keilmuan dengan gencarnya sistem pendidikan Barat mewarnai pendidikan di sekolah-sekolah di negara ini; dan 3) masalah Pendidikan Karakter yang kini semakin dirasakan perlunya dengan menguatnya kebobrokan (seperti meningkatnya korupsi, radikalisme dll) yang disebabkan lemahnya karakter dan perlunya kapabilitas karakter yang unggul untuk menghadapi persaingan dalam derasnya arus globalisasi.

Jimmy Ph.Paat menekankan pentingnya belajar filsafat bagi seorang guru dan siswa.  “Tidak perlu menjadi guru atau sarjana pendidikan jika tidak tahu filsafat, jika tidak belajar filsafat,” ujarnya. Kemampuan melakukan refleksi diperoleh dengan belajar filsafat. Kemampuan mempertanyakan sesuatu secara filosofis seyogyanya dipunyai oleh seorang guru ataupun siswa, yang ini sekarang mulai langka. Alih-alih bertanya, berapa jam kita belajar, kita bisa bertanya secara filosofis “apa itu waktu”. Di masa awal republik ini orang banyak bicara tentang filsafatnya Langeveld, orang pun ramai-ramai mempelajarinya. Salah satu butir filosofinya pendidikan yang dikemukakannya adalah pendidikan adalah usaha sadar seorang  dewasa ke orang non dewasa agar si siswa bertanggung jawab secara moral. GBHN Indonesia aromanya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Langeveld. Tahun 1900-1942 pengaruh Montesori begitu kuat, dan menekankan pendidikan yang berpusat pada anak. Masa penjajajahan tahun 1942 sangat militeristik. Beralih ke masa Orde Baru orientasi developmentalisme menguat. Pada masa Reformasi kecenderungannya Liberalisme dan Multikulturalisme. Pendidikan di Indonesia dalam perkembangannya banyak direduksi menjadi masalah metode yang kemudian dikritisi oleh Mochtar Buchori dan Tilaar.

Andy Ahmad Zaelany dalam presentasinya menekankan tentang banyaknya ragam sistem pendidikan lokal yang ada dan kayanya local science dalam tradisi keilmuan di Indonesia di satu sisi, dan di sisi lain kecenderungan orientasi pendidikan kebarat-baratan yang menegasikan nilai-nilai lokal serta kebutuhan felt need yang sejatinya diperlukan bangsa Indonesia dalam upaya meningkatkan martabat dan kesejahteraan bangsa.  Berawal dari polemik kebudayaan antara Ki Hadjar Dewantoro dan Sutan Takdir Alisyahbana tentang arah pendidikan nasional. Pada debat ini Ki Hadjar Dewantoro dianggap lebih unggul dengan pemikirannya bahwa kita memiliki tradisi pendidikantersendiri yang khas, tapi dalam praktiknya di kemudian hari ternyata justru pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana yang banyak diterapkan. Tradisi pendidikan di Indonesia di masa lalu menekankan penanaman nilai-nilai luhur, kemandirian dan penguasaan pengetahuan ketrampilan. Di Minangkabau umumnya anak belajar pada Buya; di Jawa berkembang tradisi Pesantren; di perdesaan anak belajar pertanian atau kenelayanan di awali dari ayah atau pamannya dan kemudian ikut Juragan; di Baduy anak belajar pengetahuan berkebun, adat, agama dari Jaro. Untuk pengetahuan-pengetahuan khusus seorang anak belajar pada ahlinya, misalnya silat dari Pendekar, menjadi pawang hujan dari dukun pertanian, dll. Pendidikan masa kini cenderung berorientasi pada market driven dan setelah lulus dikuatirkan hanya untuk melayani kapitalis menjadi instrumen industri. Sedangkan pendidikan di masa yang lalu lebih berorientasi pada public driven, belajar di tengah-tengah masyarakat dan setelah selesai pendidikan, ilmunya akan diterapkan untuk masyarakat (socially responsible science).

Sementara itu Doni Koesoema menyebutkan bahwa pendidikan di Indonesia ini semakin tidak menalar, kasus Pilkada DKI Jakarta menunjukkan betapa arah pendidikan semakin tidak jelas. Menurutnya, persoalan utama pendidikan adalah kualitas pembelajaran. Seyogyanya semua kebijakan pendidikan mengerucut untuk menumbuhkan semangat pembelajar otentik dalam diri individu. Namun sayangnya cara bangsa ini mengelola pendidikan masih jauh dari harapan, bahkan terjebak dalam apa yang disebutnya sebagai “sindrom ular karet”. Akibat sistem evaluasi penilaian hasil belajar seperti sekarang ini, cara belajar siswa pun hanya sekedar mengejar nilai. Hal inilah yang merupakan akar dari rendahnya daya saing, buruknya etika/moral dan lemahnya kompetensi life skill.  Itulah  pentingnya penguatan pendidikan karakter sekarang ini sekaligus memperbaiki sistem pendidikan yang ada. Beliau menyebutkan adanya 5 nilai utama dalam penguatan pendidikan karakter yang menjadi program Kemendikbud, yaitu religius, nasionalisme, mandiri, gotong royong dan integritas.  Pendidikan karakter ini berbasiskan kelas, budaya sekolah dan masyarakat. 

Hasil diskusi ini diharapkan akan merupakan suatu retrospeksi, suatu pandang balik bagi kita untuk membenahi sistem pendidikan yang ada ke jalur yang lebih bermanfaat bagi kemajuan bangsa Indonesia.

Contact Person : Dr. Andy Ahmad Zaelany

Pusat Penelitian Kependudukan LIPI