Jakarta, Humas LIPI. Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Herry Yogaswara, mengatakan instrumen kebijakan pada pertanian organik bukan hanya sebuah cara produksi untuk menghasilkan produk pertanian belaka. “ini merupakan sebuah cara hidup bahkan ideologi, bisa disebut tradisi, juga relasi antara manusia dengan lingkungan secara timbal balik,” tuturnya di acara Seminar Nasional “ Reorientasi Kebijakan Pertanian Organik di Indonesia” pada Selasa (15/10) di Jakarta.
Seminar tersebut mengangkat isu perkembangan pertanian organik dari program nasional Go Organic 2010 yang kini mengarah pada pembangunannya. “Pembangunan pertanian organik bertumpu pada kedaulatan pangan di tingkat desa melalui semangat membangun dari pinggiran,” ungkap Herry. “Program ‘Seribu Desa Pertanian Organik’ yang dicanangkan 2014 era Presiden Joko Widodo ditengarai telah terperangkap ke dalam berbagai instrumen kebijakan yang telah dibuat pada masa pemerintahan sebelumnya,” tambahnya.
Berdasarkan hasil penelitian di kota Batu- Malang, Herry menjelaskan ide untuk menjadikan satu desa pertanian organik masih agak sulit karena hanya 1/8 saja yang organik dan yang 7/8 padat teknologi karena kebutuhan. “Keluhan-keluhan petani pada pertanian organik berhadapan pada pertanian padat teknologi termasuk padat kebutuhan pestisida dan pupuk dari luar,” jelasnya.
Pada kesempatan ini, Herry menyampaikan kerja sama yang di bangun bersama koalisi nasional Kaukus Pembaruan Pertanian (KPP) ini harus menghasilkan suatu produk pengetahuan. Produk tersebut, menurutnya, harus mempunyai dampak penting bagi penduduk yang bermata pencaharian petani, khususnya petani yang memproduk pertanian organik. “Hasilnya tertuang pada makalah kebijakan (policy paper), yang memberikakan tinjauan kritis tetapi juga jalan keluar yang konstruktif untuk perbaikan kebijakan,” tegasnya.
Rekomendasi Reorientasi Kebijakan Pertanian Organik
Rekomendasi diharapkan untuk menata kembali arah dan wawasan kebijakan pertanian organik melalui dua tahap. Pertama, melakukan penataan tehadap basis produksi (penguasaan tanah dan tenaga – kerja) untuk memperkuat otonomi pada tingkat rumah tangga petani organik dan kedua, mengimbangi kebijakan sekarang yang cenderung berorientasi pasar dengan cara memperkuat praktik – praktik pada sistem budidaya ditingkat rumah – tangga petani organik.
Rekomendasi ini dimaksudkan sebgai saran dan masukan kepada Pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat, termasuk DPRD. Selain itu, rekomendasi ditujukan kepada pemangku kepentingan organik lain agar dilakukan reorientasi terhadap kebijakan pertanian di Indonesia. Reorientasi kebijakan ini perlu dilakukan pada dua tataran kebijakan, yaitu: undang – undang yang menjadi dasa hukum kebijakan pertanian organik, dan peraturan – peraturan menteri pertanian, SNI dan dokumen – dokumen yang terkait pertanian organik. (hst, mtr/ ed: drs)