Koordinator Penelitian Intoleransi dan Radikalisme Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas. (Suara.com/Arga)
Koordinator Penelitian Intoleransi dan Radikalisme Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas. (Suara.com/Arga)
 

Suara.com – Koordinator Penelitian Intoleransi dan Radikalisme Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPICahyo Pamungkas mengatakatan untuk melawan tindak radikal para teroris tidak cukup dengan melakukan counter narasi di tengah masyarakat. Semisal mengatakan bahwa Islam adalah agama damai dan Indonesia tidak identik dengan kekerasan.

Cahyo mengatakan perlu adanya pembokaran terhadap narasi radikal yang dilakukan oleh teroris. Dirinya menyebut perlu ada narasi positif yang diciptakan.

“Kita perlu melakukan dekonstruksi narasi-narasi yang diproduksi oleh kaum radikal itu sendiri,” kata Cahyo di gedung LIPI, Jakarta, Kamis, (17/5/2018).

Cahyo mengatakan jika narasi-narasi yang mendukung ke arah intoleransi sering dijumpai di media sosial. Dirinya mengatakan harus melakukan dekonstruksi terhadap narasi-narasi yang berkembang di media sosial satu persatu. 

“Misal tentang cadar. Bagaimana cadar itu jika kita melihat Prancis? Prancis melarang orang menggunakan cadar. Indonesia masih membolehkan karena masih bagian dari hak asasi manusia. Kalau di sana orang mengunakan cadar bertentangan dengan kebijakan negara” jelasnya.

Cahyo menjelaskan pembokaran narasi seperti itu sedang dilakukan oleh LIPI. Cahyo menyebut harus ada identifikasi narasi-narasi yang dapat mengundang kebencian di tengah masyarakat.

“Indentifikasi siapa mereka, lalu apa yang mereka katakan, dan lain-lain,” tandas Cahyo.

Sumber: https://m.suara.com/news/2018/05/17/141514/lawan-radikalisme-tak-cukup-katakan-islam-itu-agama-damai