Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) merupakan sebuah istilah untuk sebuah konsep pengelolaan hutan yang berdasarkan kepada kondisi lokal, dengan tetap memperhatikan peraturan perundangan yang berlaku. Terdapat berbagai varian skema PHBM seperti Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat dan lain-lain. Meski demikian berbagai skema tersebut mempunyai ciri penting yang sama yakni PHBM harus didasarkan akses yang legal dan pasti bagi masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Hutan dikelola oleh masyarakat itu sendiri dan masyarakat mengambil keputusan bagaimana mengelola sumberdaya mereka. Selanjutnya konsep PHBM juga mendukung masyarakat untuk memperoleh hak atas sumberdaya yang merupakan bagian penting dalam hidup mereka.

Berbagai bentuk model pengelolaan yang ditawarkan telah dijabarkan ke dalam serangkaian peraturan teknis, dalam bentuk Peraturan Menteri Kehutanan tentang Hutan Kemasyarakatan (HKM); Hutan Tanaman Rakyat (HTR); dan yang terbaru adalah Hutan Desa (HD). Masing masing peraturan Menteri Kehutanan tersebut mengalami perbaikan yang sejalan dengan perkembangan pelaksanaannya.

Di luar skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang telah diakomodir dalam peraturan perundangan di Indonesia, ada banyak bentuk pengelolaan hutan lainnya yang sebenarnya telah dipraktekkan sejak lama oleh beberapa kelompok masyarakat, termasuk juga di dalamnya adalah komunitas masyarakat adat. Bentuk-bentuk ini, dengan penamaan yang berbeda pada tiap wilayah adalah merupakan bagian dari sebuah budaya, dan sangat erat hubungannya dengan kehidupan komunitas-komunitas masyarakat adat yang hidup dan tinggal di kawasan sekitar hutan di seluruh wilayah Indonesia. Walaupun secara legal formal, bentuk-bentuk pengelolaan hutan jenis ini hingga sekarang masih didiskusikan ketersediaan payung hukumnya sebagai bagian penting dalam konteks pengelolaan hutan.

Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan, telah membuka akses kepada masyarakat lokal, khususnya yang tinggal di dalam atau disekitar kawasan hutan untuk mengelola dan memanfaatkan wilayah hutannya sendiri.  Fasilitasi pemerintah daerah dan lembaga-lembaga fasilitator menjadi penting pada proses awal untuk pengajuan usulan model pengelolaan hutan oleh kelompok masyarakat. Komitmen pemerintah daerah dalam hal pemberdayaan masyarakat, terkait juga dengan kebijakan penataan ruang wilayah provinsi dan kota/kabupaten, akan menjadi kunci tercapainya tujuan pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

Tantangan dan peluang dalam proses implementasi konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat terletak pada pentingnya proses dan panjangnya proses birokrasi yang harus dilewati, memperhatikan kepastian status lokasi hutan calon areal yang akan dikembangkan, ini belajar dari pengalaman tentang banyaknya terjadi tumpang tindih dan klaim terhadap suatu kawasan hutan, kejelasan batas terkait kawasan perkebunan, konsensi hutan, dan tambang; pola sosialisasi dan pembiayaan; khusus mengenai hutan adat, masih belum ada dasar hukum yang mengatur pengelolaan hutan adat, komitmen untuk pengakuan terhadap kawasan kelola adat mesti direalisasikan dengan pengaturan payung hukumnya; perlunya membangun sinergi antara pelaksana program pada lembaga-lembaga fasilitator dengan tim yang ada di Dinas Kehutanan Kabupaten dan Provinsi; penting juga untuk mendapatkan perhatian adalah strategi dalam meningkatkan keterlibatan kelompok perempuan yang masih sangat rendah, padahal kelompok ini memiliki banyak informasi dan terlibat secara langsung dalam pengelolaan hutan di wilayahnya.

Memastikan faktor pendukung dalam pelaksanaannya yang Izin yang dikeluarkan untuk skema pengelolaan hutan oleh dan bersama masyarakat sejalan dengan mitigasi perubahan iklim yakni kegiatan pengurangan emisi karbon,  tanpa melupakan peningkatan kesejahteraan masyarakat; Percepatan pelaksanaan rencana pengembangan skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat terutama skema Hutan Desa; Pembentukan KPH sebagai lembaga penanggung jawab pengelolaan hutan dapat mendukung pelaksanaan skema-skema PHBM dan yang terpenting serta perlu terus menerus dilakukan adalah pendampingan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia yang mendukung tercapainya pengelolaan hutan oleh dan bersama masyarakat dalam konteks mitigasi perubahan iklim atau pelaksanaan REDD+ tanpa mengabaikan kesejahteraan dan hak masyarakat setempat/adat terhadap hutan. (Tria Anggita Hafsari) Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI