Maritim adalah masa depan Bangsa Indonesia. Berkait dengan maritim, sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Presiden Joko Widodo adalah Global Maritime Fulcrume (GMF),merupakan sarana untuk memanfaatkan kekuatan dan sumber daya .Maritim negara Indonesia. “GMF ini secara substansi menjadi penting untuk dilihat kembali di periode ke 2 kepemimpinan Joko widodo. Posisi LIPI selain melakukan riset juga membutuhkan kemitraan dan kolaborasi dari semua pemangku kepentingan terkait GMF ini,” tutur Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI, Tri Nuke Pudjiastuti. Dirinya menegaskan, secara global GMF ini menjadi penting untuk dilihat dan diangkat kembali menjadi salah satu kekuatan Indonesia di dalam upaya melihat posisi Indonesia yang cukup kuat dalam sentralitas ASEAN utk kepentingan Indonesia di Asia Pasifik.
Nuke menjelaskan, secara akademis GMF merupakan salah satu isu stategis untuk di kaji dari sisi bagaimana: diplomasi ekonomi Indonesia kedepan, posisi Indonesia pada kerangka Asean dan Indopasifik, serta Indonesia berperan pada kerangka perbatasan, jelas Nuke, pada acara Global Maritime Fulcrum in Jokowo’s 2nd dengan tema “Enhancing Strategic Clarity and Policy Conten”. Kamis, (5/3) lalu di Jakarta. Kegiatan ini merupakan kerjasama LIPI dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI). Harapannya melalui diskusi ini, dapat mesinergikan dalam membangun wacana dan menjadi bagian dari sesuatu yang diperhitungkan di dalam penelitian atau kegiatan akademik lainnya. “targetingnya adalah didalam ilmu sosial, artinya kita bisa mempengaruhi perubahan kebijakan kedepan bagimana kepentingan nasional itu bisa dioptimalkan,” jelas Nuke.
Pada kesempatan yang sama, Deputi III Bidang Koordinasi Infrastruktur, Kemenko bidang Kemaritiman dan Investasi, Ridwan Djamaluddin, mengatakan tentang Indonesia menjadi ‘Poros Maritim’ dunia?. “ Ini juga memimpikan Indonesia sebagai hubungan untuk konektivitas antara Pasifik dan Samudra Hindia, yang menghubungkan Asia ke seluruh dunia. Namun untuk menjadi poros maritim dunia, dengan kondisi sekarang sangat sulit,” jelasnya. Dirinya menyebutkan, saat ini pusat ekonomi dunia adalah China yang mencanangkan One belt Policy.
Pandangan lain menurut Djamaluddin, kalau melihat posisi Indonesia memang menjadi alur pelayaran yang sangat strategis.” Indonesia memiliki marine biodversity yang sangat khas dan kaya, yang tidak dimiliki negara lain. Kondisi inilah yang menjadi perhatian Indonesia,” tegas Djamalludin.
Peneliti Utama LIPI, Dewi Fortuna Anwar, menyebutkan ‘Poros Maritim’ ini masih sebatas tag line dan belum benar diejawantahkan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah. “Paradigma pembangunan pemerintah masih di darat bukan di laut,” terang Dewi. Selain itu, posisi Indonesia diantara lautan India dan pasifik yang menjadi kebijakan dalam satu maritim Indonesia dan dimensinya banyak sekali aspek ekonomi, budaya, diplomasi ada pertahanannya yang koneksifitasnya sudah menjadi pengikat dalam kebijakan kemaritiman, tambah Dewi.
Dewi, menekankan pentingnya kembali kepada Undang-undang Kelautan Indonesia, No. 32/2014, yang menekankan pentingnya penegakan hukum di lautan Indonesia serta pentingnya mengurangi resiko konflik dengan tetangga di perbatasan.”untuk itu pentingnya membangun berdasar evidence research based, sehingga benar-benar menyentuh dan menjawab akar masalah yang ada, tutup Dewi. ( ks/bn. ed.mtr)