Jakarta – Humas BRIN. “Tujuan kegiatan Disability Lecture Series ini adalah memperbarui pengetahuan terkait isu-isu disabilitas terutama dari hasil riset sehingga dapat menjadi wadah berbagi pengetahuan bagi para peneliti, pemerhati, maupun praktisi di bidang disabilitas,” ucap Nawawi, Ph.D., Kepala Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRK – BRIN). Pernyataan tersebut disampaikanya dalam pembukaan acara Disability Lecture Series #1 dengan topik Logika Kenormalan: Konsep-Konsep Disabilitas dalam Pendekatan Sosial dan Hak Asasi Manusia, Selasa (31/5).

“Dengan adanya Kelompok Riset Disabilitas yang sudah digagas oleh para peneliti lintas pusat riset, kita berharap BRIN dapat menjadi center of excellence (pusat keunggulan) terkait dengan riset-riset mengenai disabilitas dan juga berkolaborasi dengan berbagai Lembaga serta instansi lainnya di luar BRIN,” kata Nawawi.

Dalam paparannya, Fajri Nursyamsi, Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia menjelaskan secara umum, disabilitas adalah ketidakmampuan seseorang untuk melakukan suatu aktivitas tertentu. Fajri memaparkan, setiap manusia memiliki pengalaman dan pengetahuan yang beragam, pengalaman, dan pengetahuan itu, kemudian dapat membangun prasangka yang dapat dipendam atau dicerminkan melalui tindakan perkataan. Ketika yang timbul adalah prasangka negatif, maka hal tersebut dapat berdampak kepada Tindakan diskriminasi.

“Basis diskriminasi mendasari seseorang dapat diperlakukan berbeda dari orang pada umumnya. Seseorang dapat melihat manusia berdasarkan pengelompokkan kondisi fisik, mental, intelektual, agama, warna kulit, gender, kondisi ekonomi, ideologi, usia, dan seterusnya,” papar Fajri.

Bicara mengenai disabilitas sebagai dasar basis diskriminasi, Fajri mengatakan terdapat istilah Ableisme, yaitu tindakan yang merujuk kepada diskriminatif terhadap penyandang disabilitas. Ableisme menganggap penyandang disabilitas sebagai kelompok lain. Dengan cara pandang itu, ada pemisahan atas nama sehat-tidak sehat dan normal-tidak normal. Dampaknya, penyandang disabilitas menjadi tereksklusi dan menjauhkannya dari manusia dan sumber daya.

Lebih lanjut Fajri menjelaskan bahwa terdapat berbagai perspektif lain terhadap penyandang disabilitas, yaitu perspektif positivisme yang menekankan berbeda adalah suatu kelainan, perspektif ekonomi yang mejelaskan di mana kondisi fisik/ mental dapat mempengaruhi nilai dan dianggap beban, kemudian perspektif religius yang mengkondisikan disabilitas adalah suatu berkah pemberian Tuhan, serta terakhir adalah perpektif medis di mana disabilitas adalah penyakit yang solusinya adalah diobati dengan mengintervensi tubuh orang tersebut.

Fajri mengatakan, semua perspektif tersebut belakangan mengalami transformasi cara pandang yang terbagi menjadi cara pandang model sosial dan hak asasi manusia (HAM). “Model sosial melihat disabilitas disebabkan dari interaksi sosial,” katanya. Adanya hambatan pada penyandang disabilitas adalah karena lingkungan yang tidak memberikannya akses. “Solusi yang diperlukan adalah mengintervensi perubahan pada lingkungan, bukan individu, jadi sudut pandang masyarakatnya yang harus diubah,” ungkapnya.

Begitu pula dengan sudut pandang model HAM. Fajri mengungkapkan, berbasis dari pemikirian yang sama dengan model sosial dengan menempatkan disabilitas sebagai keragaman manusia.. Sudut pandang ini menempatkan kebutuhan lingkungan yang aksesibel sebagai HAM dan menjadi kewajiban bagi negara untuk memenuhinya.

Dengan cara pandang yang berubah tersebut kini terdapat reposisi isu disabilitas. “Dahulu adalah hak negara untuk memberikan aksesibilitas bagi disabilitas, kini hal tersebut menjadi sebuah kewajiban. Dari isu sektoral menjadi isu multisektor. Dari suatu pengkhususan/ eksklusif, menjadi inklusif. Lingkungan yang diubah menjadi menerima disabilitas,” ujar Fajri.

Diakhir paparannya, Fajri menjelaskan bahwa pemerintah telah memiliki regulasi yang kuat mengenai disabilitas yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas: Reposisi Isu Disabilitas dalam Pemerintahan. Namun, tantangan terbesarnya adalah bagaimana regulasi tersebut diterapkan dan dianggarkan. “Mengubah sudut pandang keseluruhan masyarakat terhadap penyandang disabilitas merupakan kunci sukses dalam menjalankan pendekatan inklusif bagi penyandang disabilitas pada berbagai sektor, karena inklusif tidak hanya sekedar menggabungkan penyandang disabilitas dengan orang normal pada satu tempat saja, perlu pendekatan keadilan bahkan ideal,” pungkasnya.

Acara dilanjutkan dengan sesi diskusi dan tanya jawab. Tampak antusias penanya dari para peserta yang terdiri dari kalangan pemerhati, praktisi, serta dari penyandang disabilitas itu sendiri yang bercerita dan berbagi pengalamannya. Selama berlangsungnya acara, turut serta juga juru bicara bahasa isyarat untuk membantu peserta dari kalangan disabilitas yang mengalami gangguan dalam pendengaran. (robi/ed: and)