Jakarta – Humas BRIN. Kamis (9/06), Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban (PR KKP) yang merupakan unit pelaksana riset di lingkungan Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra) menyelenggarakan Bincang Khazanah #3. Kali ini tema yang dibahas yaitu Khazanah Agama Lokal mengenai Sejarah, Pergumulan, dan Pengakuan.
Dalam sesi pembuka, Kepala OR Arbastra, Herry Yogaswara menyampaikan fokus riset PR KKP adalah menyangkut konteks kehidupan berbangsa. “Saat ini sedang dibahas isu-isu terkait adat, kepercayaan, dsn. Contohnya, kini sedang dirancang peraturan presiden tentang percepatan pelayanan terhadap kepercayaan kepada Tuhan YME dan masyarakat adat,” ungkapnya. Herry juga menjelaskan adanya penyusunan buku saku oleh tim advokasi untuk kepercayaan terhadap Tuhan YME dan masyaraka adat.
Menurut pandangannya, seringkali pelayanan yang diberikan kepada penganut kepercayaan belum optimal. Untuk itu, ia berharap forum seperti ini mampu memberikan pencerahan terhadap isu-isu berdasarkan pengalaman para pembicara. Tentu saja PR KKP harus terus menerus berfokus pada isu – isu tertentu yang menjadi ranah riset.
“Setiap pusat riset perlu juga memproduksi kebijakan atau respons yang cepat terhadap kasus – kasus yang mengemuka,” imbuhnya.
Untuk mengupas tema kali ini, Prof. Abd. Kadir Ahmad selaku peneliti BRIN, membahas agama pribumi, problem dan konseptualnya. Ini berangkat dari pandangan para ahli abad ke-19 tentang asal usul agama diterima secaral luas. Contohnya, masyarakat primitif yang tinggal di Afrika, Australia, Amerika, dan masyarakat lainnya yang disebut dengan masyarakat non melek huruf.
Ia melihat bahwa agama telah dipraktikan pada awal sejarah manusia. Alasan untuk mencari pemahaman itu bervariasi. Baginya, banyak buku tentang agama-agama di dunia juga mencakup bagian yang sering disebut agama pra-sejarah atau primitif. Secara luas ini dianggap oleh para sarjana sebagai wilayah pramodern yang selalu bersembunyi di tepi panggung sejarah dunia.
Bahasan masih dilengkapi dengan paparan seorang peneliti dari Program Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada, DR. Samsul Maarif yang menyampaikan Genealogi gagasan agama. Dijelaskan, perjalanan pemaknaan agama atau pemahaman pengajaran. Agama bukan lagi sebagai analisis tapi sudah menjadi norma. Agama sudah digunakan untuk mengategorikan sesuatu hal itu salah dan benar.
Lalu ia mengungkap, awal mula agama berasal dari bahasa sansekerta yang penggunaannya sekarang ini lebih keindonesiaan. “Bila ditelusuri sejarahnya, kata agama diambil dari kata religio di mana sebelumnya Kristen sudah berkembang. Akan tetapi, kemudian diambil alih menjadi identik dengan Kristen dengan pemilik pertamanya diberi istilah lain dengan sebutan pagan/ penyembah berhala yang pejoratif.
Yang terjadi di Indonesia, agama ditilik dari bahasa sansekerta yaitu hindu dan budha. Sedangkan dari istilah kebijakan, yang pertama menjadi agama itu adalah islam, protestan, dan katolik. Sementara hindu dan budha butuh belasan tahun untuk menjadi agama. Itu merupakan bentuk transformasi pemaknaan agama.
Proses transformasi ini dipengaruhi oleh ragam konteks. Sekularisme merupakan salah satu konteks yang sangat berpengaruh dalam pemaknaan agama hingga saat ini. sejak awal muculnya sekularisme agama sebagai musuh pertama, agama diberi definisi sebagai sesuatu yang sakral. Berbeda dari yang lain, agama tidak boleh di sentuh atau dimodifikasi karena merupakan hal spiritual. Dalam Sekularisme ini agama dipertentangkan dengan budaya yang dipopulerkan dengan segala sesuatunya.
Orientalisme dalam diskursus agama digunakan untuk membedakan karakterisasi agama yang digambarkan dengan ortodoksi dan ortopraksi. Sebelumnya, semua konteks dibawa melalui kolonialisme yang ikut membawa modernisme, rasionalisme, serta desakralisasi yang akhirnya sampai ke Indonesia. Lantas hal itu diwarisi dalam konteks nasionalisme, di mana di Indonesia sangat dipengaruhi oleh islam yang monoteisme.
Sementara peneliti BRIN lainnya, DR. Syamsurijal penelit BRIN membahas agama lokal dan sejarah pergumulannya yang dibagi menjagi tiga. Hal itu adalah menelusuri agama lokal nusantara, sejarah perjumpaan dan pergumulan dengan agama langit, serta strategi agama lokal bertahan hidup.
Kesimpulannya, Kepala PR KKP, DR. Wuri Handoko mengatakan, sebagai institusi negara, BRIN memproduksi ilmu pengetahuan untuk membangun narasi kebudayaan tentang peradaban yang humanis dan mengangkat akar – akar keindonesiaan. “ Indonesia dibangun oleh proses – proses peradaban yang tinggi, yang memberi ruang sangat luas bagi tumbuh dan berkembangnya kearifan lokal,” jelasnya. Tentu saja, sebelum munculnya agama-agama besar leluhur, telah hidup di dalam proses keindonesiaan yang berakar dari nilai-nilai luhur warisan nenek moyang.
Ia mengatakan, agama samawi menjadi sesuatu yang terus hidup dan mengakar dalam peradaban. Hal itu tinggal bagaimana negara memberikan ruang akomodasi pertemuan-pertemuan semacam ini. Negara punya kewajiban memberi ruang untuk tumbuh hidupnya kehidupan keagamaan. (sur/ed: and)