Jakarta – Humas BRIN. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK). ABK terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sementara pendidikan ABK umumnya hanya berada di Ibu Kota Kabupaten atau Kotamadya. Akibatnya, banyak ABK tidak bisa mengenyam Pendidikan karena keterbatasan tersebut. Demikian paparan Yaswardi, Direktur Guru Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus, pada kegiatan Prakonferensi I MOST-UNESCO Indonesia, Selasa (14/06).

Kegiatan bertajuk Pendidikan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas ini diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Komite Nasional Indonesia untuk Program Management of Social Transformation (MOST) – UNESCO. Tema tersebut untuk mendorong pembahasan tentang perlunya inovasi pendidikan sebagai solusi dari masalah tersebut.

Yaswardi, menegaskan Pendidikan Inklusif sudah mendapatkan dukungan dari pemerintah. Ia mengatakan bahwa komitmen pemerintah dibuktikan dengan menyediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). Kemudian pada tahun 2020 pemerintah sudah menyediakan GPK untuk sekolah TK sebanyak 20,60% dari 3.242 sekolah, SD 16,43% dari 17.366, SMP 14,10% dari 7.383, SMA 10,81% dari 2.247, dan SMK 14,14% dari 2.391. Untuk tiap satuan pendidikan yang melaksanakan Pendidikan Inklusif harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK).

Konteks inklusivitas dimaksudkan, bahwa sekolah harus menyediakan lingkungan belajar yang memenuhi kebutuhan setiap siswa dengan menyediakan kelas pendukung bagi siswa berkebutuhan khusus atau bimbingan. Ada tiga konsep penting di dalam Inklusif yaitu terbuka, menghargai perbedaan, dan merangkul perbedaan.

Untuk mencermati konteks merdeka belajar, proses pembelajaran tertuju pada anak. Anak terlayani secara optimal dan terbangun iklim pembelajaran aman dan nyaman. Kemendikbudristek sangat mendorong pendidikan inklusif ini agar terealisasi.
Namun sangat disayangkan bahwa banyak daerah yang belum mempunyai Perda tentang pendidikan inklusif, bahkan belum mempunyai sekolah inklusif. Kebijakan untuk mengadakan formasi guru pendidikan inklusif di daerah sangat minim.

Yaswardi menambahkan, ada beberapa cara pemerintah untuk mengimplementasikan Pendidikan Inklusif. Hal itu antara lain memasukkan Pendidikan Inklusif di perguruan tinggi, penyediaan guru pendidikan khusus (GPK), dan pelatihan bagi pendidik dan tenaga pendidik di SPPPI. Pemerintah dapat melakukan intervensi untuk ABK, antara lain kurikulum, sarana dan prasarana, sumber daya manusia, program, dan anggaran.

Pada kesempatan yang sama, Budiyanto, Direktur PSLD UNESA dan anggota Komite Nasional MOST-UNESCO Indonesia mengutarakan Pendidikan Inklusif sebagai strategi untuk mencapai tujuan pendidikan bagi semua (Education For All). Hal ini mencakup perubahan dan modifikasi dalam isi, pendekatan, struktur, dan strategi yang dapat mengakomodasi kebutuhan semua anak sesuai dengan usianya. Ia mengatakan, Pendidikan inklusif dalam pelaksanaannya merupakan tanggung jawab dari sistem pendidikan biasa untuk mendidik semua anak.

“Implementasi pendidikan inklusif berkontribusi langsung terhadap program pemerataan dan perluasan akses serta peningkatan mutu pendidikan,” ujarnya. Pendidikan inklusif tidak hanya sebagai strategi tetapi lebih mengedepankan pemahaman. Anak berkebutuhan khusus sangat membutuhkan pendidikan akademik agar nanti dapat mandiri menghadapi kehidupan di tengah masyarakat.

“Sasaran pendidikan inklusif ada dua yaitu berkebutuhan khusus faktor internal dan faktor eksternal,” imbuhnya. Sekolah tidak boleh menolak anak berkebutuhan khusus. Menurutnya, konteks pendidikan inklusi sebagai hak untuk semua individu. Sementara, Pendidikan inklusif saat ini kualitasnya masih rendah. Untuk meningkatkan mutu sekolah, pemerintah meningkatkan pengetahuan guru regular dengan pendidikan dan pelatihan, serta diberi tugas tambahan.

Seiring hal itu, Suharto, Direktur Eksekutif Sarana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel Indonesia dan Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta berpendapat juga. “Pendidikan Inklusif adalah filosofi sedangkan sistem layanan pendidikannya dengan mengatur agar siswa dapat dilayani di sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman sebayanya. Tanpa harus dikhususkan kelasnya, mereka bisa belajar bersama dengan aksesibilitas dan akomodasi yang layak,” jelasnya.

Ia menekankan, pendidikan inklusif bukan sekadar metode atau pendekatan pendidikan melainkan suatu bentuk implementasi filosofi yang mengakui kebhinekaan antar manusia. “Pendidikan inklusif mengemban misi tunggal untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik,” tegasnya. Tujuan pendidikan inklusif adalah untuk pemenuhan hak semua orang tanpa terkecuali dalam memperoleh pendidikan berkualitas. Di sisi lain, sangat penting menanamkan budi pekerti dan akhlak pendidikan itu dalam mengajarkan kolaborasi, bukan kompetisi individualis. (suhe/ed: and)