Jakarta – Humas BRIN. Sudah pernahkah mendengar kata infrastruktur sebagai kata kerja? Dalam tata bahasa Indonesia, infrastruktur digolongkan sebagai kata benda. Nah, kali ini sebuah forum diskusi akan membahas dengan terbuka pemaknaan lain dari kata tersebut. Sebuah webinar rutin yang digelar Pusat Riset Kewilayahan, Organisasi Riset Ilmu Politik, Sosial, dan Humaniora (PRW – OR IPSH) menggelar Webinar tentang Teknologi Sains dan Kemasyarakatan, Jumat (17/06). Webinar seri kedua ini membahas topik tentang “Infrastruktur adalah Kata Kerja: Sebuah Pendekatan Fiksi Etnografis”.

Diskusi ini menghadirkan Indrawan Purbaharyaka sebagai Periset Posdoktoral PRW. Spesialnya, pada seri kali ini Indrawan mengajak peserta berdiskusi untuk membahas hasil disertasi dari karyanya menempuh gelar doktoral. Diskusi dipandu langsung oleh Plt. Kepala PRW, Fadjar Ibnu Thufail dengan Rusli Cahyadi selaku Moderator acara.

Untuk menyampaikan suatu hasil riset yang masih dibilang jarang dan awam dijumpai dalam kehidupan sehari – hari masyarakat Indonesia, Indra mengajak peserta diskusi dengan mengupas hasil karya disertasinya dengan bercerita sekonkret mungkin. Tujuannya agar peserta memahami maksud dari paparannya. Dalam konsep – konsep yang ditawarkan, Indra menempatkan seluk beluk infrastruktur air limbah sebagai alat yang digunakan di dalam risetnya.

Tema yang Indra bawakan erat kaitannya dengan Science Technology Society, dikenal dengan istilah STS, yang ditempatkan menjadi bagian dari perkembangan konseptualisasi dan teorinya mengenai studi ilmu sosial dan humaniora. Ia berharap, hasilnya bisa mendorong kajian STS agar lebih berkembang.

Di dalam penyajiannya, Indra menggambarkan proses penelitiannya dengan bahasa gambar melalui karya komik yang ia buat sendiri. Menariknya, Ia menyampaikan seluruh ide yang ada dalam benaknya dengan penyajian gambar yang bisa dibilang ‘aneh’ atau ‘ganjil’ di dalam merefleksikan suatu benda.

Untuk menghasilkan sebuah gagasan tentang infrastruktur sebagai kata kerja, Indra bereksperimen dalam makna sains dan masyarakat, proses teknologi ilmiah, politik, dan unsur lainnya sebagai sesuatu yang tidak bisa dipisahkan di dalam proses perubahan. “Hal itu terjadi secara kompromi produktif,” ungkapnya beralasan. Ia menjelaskan sebuah gagasan yang dimungkinkan memancing kontroversi bagi sebagian pengamat atau ahli di bidang ilmu antropologi kuno dengan baru.
Lalu apa perbedaan dasar teori ilmu antropologi lama dengan yang baru? Menurutnya, ada tiga hal simetris. Pertama antara sains dan masyarakat (contohnya politik dan teknikal), kedua antara barat dan timur, lalu ketiga antara modern dan non modern. Baginya, suatu modernitas membutuhkan proses. Jadi, cara pemikirannya yang dibilang jarang bagi ilmuwan pada umumnya ternyata ada suatu proses yang secara bertahap menciptakan hybrid yaitu campuran antara ketiga simetris tersebut.

Bentuk perubahan tersebut, menurut penjelasannya, sebenarnya sudah dimulai era 1970 – an. “Dari situ ada pergeseran. Berarti tidak hanya mempelajari orang – orang yang jadi obyek terapan, namun juga siapa yang memproduksi pengetahuan, kebijakan, dsb. Ini menjadi suatu yang menarik,” jelasnya.

“Saya melihat banyak campuran benda – benda yang masuk dalam ide saya. Suatu hal yang berbeda, di mana kultur itu sendiri multitafsir, akan tetapi terlepas dari unsur teknik,” ujarnya. Kemudian bagaimana ilmu yang baru tersebut apakah bisa ditempatkan dalam kerangka yang lama? Jawabannya, sebagian tidak bisa karena satu garis yang ingin ditekankan perbedaannya. Sebab, STS dalam antropologi sains, menghadapkan para perisetnya pada pengetahuan yang sudah menjadi suatu hibrida.

Kecenderungan memproduksi istilah dan konsep baru untuk menjelaskan fenomena yang sebelumnya, menurutnya tidak cukup dijelaskan oleh konsep yang sudah ada. Sementara yang terjadi dalam penelitiannya, Jika para pakar, teknisi, cendikia di Indonesia menggunakan kata infrastruktur sebagai benda fisik, sementara dalam pendekatannya, sudah sejak tahun 1990-an menjelaskan infrastruktur tidak hanya benda fisik. Hal itu juga mencakup manusia, teori – teori, ide – ide, serta kata kerja.

Pembahasan tema oleh Indra ini menjadi perdebatan antar disipliner. Termasuk pendekatan STS dalam melihat unit teknologi dan jaringan yang tentu saja sudah berkembang pesat. Indra mengungkapkan, kultur sebagai sesuatu yang bukan hanya dideskripsikan oleh antropologi akan tetapi juga bagaiman alam untuk digunakan sebagai suatu analitis.

“Kapan nature ini menjadi sesuatu yang kontroversial? Di situ kita bisa melihat pembelahannya dengan mengambil kata stabilisasi sebagai kunci. Ini harus ada pendekatan historis selain demografis,” imbuhnya.

Konsepnya diistilahkan dengan vulgarisasi sebagai konsep kunci yang menjadi semacam rekayasa kebahasaan. “Di situ saya melihat ada kesempatan untuk mengintervensi, menggunakan kata yang sudah ada tapi maknanya digeser. Sehingga kemudian bisa menimbulkan imaginasi yang baru sebagai teori yang baru,” papar Indra.

Bagaimana keanehan ini bisa berelasi dengana sesuatu yang sudah dianggap normal? Ini menjadi salah satu bentuk proses kolaborasi yang dibangun. Maka dalam kesimpulan penutup, Fajar berharap kajian ini menjadi salah satu program yang bisa berlanjut sebagai suatu kajian baru di Indonesia. (PS-And/ ed:And)