Jakarta – HUMAS BRIN. Banyak kota besar di dunia dalam sejarah modern ini dibangun di sepanjang pantai termasuk Jakarta. Sementara itu, perairan pesisir terus mengalami urbanisasi dengan cepat. Akibat perubahan iklim global, permukaan air laut semakin meningkat yang dapat mengancam terjadinya banjir rob di daratan. Masalah tak hanya datang dari lautan, di daratan kota tersebut terjadi penurunan permukaan tanah yang membuatnya perlahan-lahan semakin rendah dari permukaan laut.

Hal tersebut merupakan pengantar dari topik diskusi yang diangkat Pusat Riset Kewilayahan (PRW) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada kegiatan Science, Technology, and Society Webinar Series #3 berjudul Futuring “Blue Urbanism”, Between Promises and Paradoxes in Coastal Protection, Jumat (24/06) di Jakarta.

“Ini adalah seri diskusi webinar PRW BRIN dalam kaitannya dengan studi atau kajian yang sedang kami kembangkan. Studi tersebut tentang masyarakat sains dan teknologi bersama narasumber dari Leibniz Center for Tropical Marine Research (ZMT) Bremen dan Artec Sustainability Center University of Bremen,” ujar Fadjar Ibnu Thufail, Plt. Kepala PRW BRIN saat membuka webinar.

Rapti Siriwardane-de Zoysa, dari ZMT, Bremen mengatakan bahwa pelindungan garis pantai perkotaan melalui beragam solusi infrastruktur membutuhkan investasi modal yang sangat besar dan sulit diimplementasikan. Walaupun sebetulnya, hal tersebut merupakan implementasi penting jika melihat sudut pandang berdasarkan kehidupan yang terlindungi dari kenaikan air dan erosi pantai, banjir perkotaan, penurunan tanah, salinisasi, dan peristiwa cuaca ekstrem.

“Namun yang unik adalah, maraknya pengembangan daerah residensial bernilai tinggi dan privatisasi di daerah pesisir di seluruh dunia yang mencerminkan realitas antitesis yang sangat berbeda,” kata Rapti. Lebih lanjut ia mengungkapkan sebuah proyek yang disebut BlueUrban. Proyek tersebut mengeksplorasi paradoks yang tampak dengan menganalisis paradigma dan solusi yang berpusat pada risiko. Hal itu digerakkan oleh peluang untuk adaptasi perubahan permukaan laut di wilayah pesisir kota Jakarta, Metro Manila, dan Singapura.

“Ide apa yang dapat dijadikan solusi untuk hidup dengan perubahan permukaan laut? Ide tersebut juga harus mendapatkan legitimasi politik agar dapat diimplementasikan oleh pemerintah negara dan kota setempat,” tuturnya. Berdasarkan hal tersebut lahirlah proyek menuju urbanisme biru (blue urbanism) untuk adaptasi perubahan permukaan laut berkolaborasi dengan institusi pendidikan. Mereka adalah Ateneo de Manila University, National University of Singapore, Universitas Indonesia, dan German Development Institute (GDI-DIE).

Rapti menjelaskan urbanisme biru adalah sebuah pergeseran paradigma umum menuju pengintegrasian perencanaan kota dan kehidupan sehari-hari kota-kota pesisir dengan lautan yang dikelilinginya. “Kata kuncinya adalah hidup harmoni bersama air,” jelasnya.

Rapti menjabarkan fokus riset dalam urbanisme biru yang dilakukan yaitu kebijakan dan praktik kota delta (diapit oleh sungai) dan pesisir di masa depan. Urbanisme biru menganalisis berbagai inovasi global yang telah dilakukan di berbagai tempat. Melakukan adaptasinya dengan mengikuti prosesnya dari lokasi pengembangan awalnya, ke tempat peredarannya, hingga implementasi aktualnya dalam proyek. Metodologi riset yang digunakan merupakan hasil inspirasi dari etnografi, mempelajari kehidupan masyarakat pesisir dan interaksi sosial.

Johannes Herbeck, dari Artec Sustainability Center, University of Bremen memaparkan, “membangun infrastruktur tidak hanya soal material fisik, tetapi juga membangun politik, kehidupan sosial, hingga infrastruktur setelah kematian (afterlives of infrastructures)”.

Dari hasil risetnya, kota-kota di seluruh dunia semakin menderita akibat dampak dari tantangan dan bahaya terkait iklim dan lainnya seperti banjir, kekeringan, kenaikan permukaan laut, gelombang panas, tanah longsor, dan badai. Sedangkan, kota baik besar maupun kecil sejatinya merupakan rumah bagi lebih dari setengah populasi dunia. Populasi tersebut merupakan tempat di mana orang, aset, dan aktivitas ekonomi terkonsentrasi dan berisiko. Sambil menghadapi tantangan penting, kota juga merupakan tempat peluang dan inovasi dalam mengembangkan solusi berkelanjutan untuk bangkit kembali setelah gangguan. Oleh karena itu, adaptasi iklim adalah salah satu prioritas utama untuk resiliensi perkotaan di masa depan dan kesehatan serta kesejahteraan masyarakat dan lingkungan.

“Terdapat jenis-jenis infrastruktur dalam menciptakan kota dengan urbanisme biru. Solusi pertamanya yaitu tanggul multifungsi (multifunctional “superdikes”), yang dapat menjauhkan dan melindungi daratan dari air dan mengatur alirannya,” papar Johannes. Sebetulnya sistem tanggul tunggal (single dikes) telah banyak dilakukan di beberapa wilayah di dunia ini. Kemudian diikuti dengan sistem tanggul multifungsi yang berdasarkan dari catatan sejarah telah dimulai dari kota-kota di Belanda. Strategi ini telah diterapkan secara luas pada tahun 1980-an di Jepang.

Rencana proyek lahan reklamasi Garuda Agung atau sering dikenal giant sea wall di utara Jakarta merupakan salah satu contohnya. Proyek dengan nama resmi National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) bukan tanpa kekurangan. Secara struktur dapat menghambat konsep berkelanjutan (sustainable). Sirkulasi yang tidak baik karena air laut yang terperangkap dalam tanggul membuat habitat laut di daerah teluk rusak. Ini juga menutup akses masyarakat pesisir yang bermatapencaharian sebagai nelayan.

“Kemudian struktur terapung dan pulau buatan dengan gaya hidup berdampingan dengan air (terra-aqueous and amphibious ways of living), merupakan cara memberikan kesempatan mendapatkan penghidupan dengan memanfaatkan perairan di pesisir (making a living from coastal waters),” paparnya. Bentuk sederhana dari hal ini adalah seperti perumahan panggung fluvial Manila dan tempat tinggal rumah panggung Indonesia yang dibangun di atas perairan. Di akhir paparan, Rapti menyimpulkan, yang perlu ditekankan adalah kehidupan harmoni bersama air. “Bagaimana anda dapat meyakinkan seorang nelayan bahwa ia perlu takut air?,” tutupnya. (rba/ed: and)