Jakarta – Humas Brin. Khilafatun Muslimin menjadi pembicaraan dalam beberapa hari belakangan karena ada beberapa langkah atau tindakan pemerintah terhadap kelompok ini, sehingga menimbulkan perhatian baru. Apa sebenarnya Khilafatun Muslimin yang belum diketahui oleh sebagian masyarakat Indonesia? Kenapa pemerintah mengambil langkah baru atau dalam ilmu politik yang disebut “represif” terhadap kelompok ini dalam hal melakukan penangkapan terhadap pimpinannya? Apa yang menyebabkan pemerintah mengubah strategi dalam penanganan terhadap kelompok Khilafatun Muslimin? Mengapa baru kali ini ada represi pemerintah meningkat terhadap kelompok ini? Hal itu disampaikan Rudy H Alam, Koordinator Periset Pusat Riset Agama dan Kepercayaan, Kerukunan dan Moderasi Beragama (PR AK-KMB BRIN) pada diskusi rutin Taklim Reboan seri #4, Rabu (22/06).

Diskusi tersebut membahas tema “Khilafatul Muslimin: Dahulu dan Kini”. Pembicara yang hadir yaitu Adang Nofandi dan Raudatul Ulum yang keduanya dari BRIN, serta Sapto Priyanto selaku Dosen SKSG Universitas Indonesia. Rangkaian acara dipandu Moderator Ismail Zubir.

Adang memaparkan “Potret Dinamika Gerakan Sosial Kagamaan di Bima dan Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat”. Ia mengatakan Khilafatun Muslimin merupakan bentuk gerakan sosial yang tidak berorientasi langsung pada kekuasaan atau membentuk negara baru. Namun, baginya, di sisi lain Khilafatun Muslimin memandang perlu adanya perubahan tatanan sosial dan politik dalam kehidupan umat Islam.

Pemerintah hendaknya meluruskan wawasan pemikiran gerakan sosial keagamaan. “Kami menyarankan pendekatan secara halus dengan melakukan pendekatan secara humanis. Hendaknya, pemerintah dapat mengarahkan kegiatan kelompok Khilafatun Muslimin ini agar bisa sejalan dengan program pembangunan pemerintah,” jelasnya.

Raudatul Ulum mengatakan, secara konsep dasar, khilafatul muslimin memiliki kesamaan visi dengan gerakan kepemimpinan Islam transnasional lainnya. Namun perbedaannya dengan HTI terletak pada bentuk khilafah yang tidak dinisbatkan sama sekali pada negara, tetapi pada sistem jaringan kepemimpinan agama.

“Jadi, sekarang atau nanti kekuasaan itu akan diperoleh. Contohnya, kondisi masyakat Manggarai yang terbuka dan sangat minim dalam hal pengetahuan agama adalah peluang besar bagi berkembangnya berbagai aliran,” ungkapnya. Namun menurutnya, karakter yang toleran dari masyarakat tidak cukup membuat organisasi Khilafatul Muslimin menjadi berkembang cepat. Bahkan, hal ini cenderung pelan dan tak cukup masif seperti di Bima. Sebagaimana disampaikannya dalam paparannya “Khilafatun Muslimin di tahun 2017: studi kasus polemik di Manggarai Barat.

Sapto Priyanto menambahkan bahwa Pemerintah harus tegas dalam melakukan penertiban terhadap kelompok atau organisasi yang tidak memenuhi aturan hukum. Masyarakat juga harus berperan aktif dalam mencegah penyebaran paham (agama) dan kelompok/ ormas/ organisasi yang bertentangan dengan aturan yang berlaku dengan melaporkan ke pihak yang berwenang. (ANS/ed: and)