Jakarta-Humas BRIN. Bagaimana kita bisa mentransisikan ekonomi kita? Apa yang dimaksud Carbon Neutral? Apa pengaruh ekonomi sirkuler dan linier yang berdampak pada kualitas sumber daya alam dan lingkungan? Pertanyaan – pertanyaan tersebut muncul dalam pembahasan secara daring Lecture Series yang diselenggarakan Pusat Riset Ekonomi Prilaku dan Sirkuler (PR EPS) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kamis (11/08).

Kegiatan tersebut mengangkat tema “Transitioning to Carbon Neutral Circular Economi: Opportunities and Challenges for Circular Bioeconomy”. Acara dibuka oleh Agus Eko Nugroho selaku Ketua Organisasi Riset Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat (OR TKPEKM). Kegiatan ini dipandu langsung Umi Karomah Yaumidin, selaku PR EPS, dengan pembicara utama Anthony Halog dari School of Earth and Environmental Science, University of Queensland.

Anthony dalam paparannya menjelaskan Ekonomi sirkular adalah optimalisasi konsumsi sumber daya (energi/ bahan bakar, biomassa, air, tanah, logam dan non logam). Sumber daya itu terdiri dari bahan mentah, pengolahan, transportasi, serta pemanfaatan potensi limbah dan emisi (padat, cair dan gas) menjadi nilai dari sumber daya baru.

Menurut Data 2021, terkait konsumsi energi, penggunaan energi tidak hanya mencakup listrik, tetapi juga bidang konsumsi lainnya termasuk transportasi, pemanasan, dan memasak. Di Indonesia konsumsi energi 5000kwh – 10000kwh per orang. konsumsi energi adalah kontributor utama emisi CO2/GHG global dari pembakaran bahan bakar fosil. Rumah kaca global, seperti emisi gas menurut sektor memiliki presentase yaitu penggunaan energi di industri yaitu bidang pertanian (73,2%), kehutanan dan penggunaan lahan (18,4%), ternak dan pupuk kandang, tanah pertanian, pembakaran tanaman, serta limbah (3,2%), dan industri (5,2%).

Dalam prinsip pareto menetapkan 80% berasal dari konsekuensi dan 20% berasal dari penyebab. Ini membuktikan bahwa hubungan yang tidak setara antara input dan output. Dalam penelitian baru menunjukkan dunia menghabiskan 1,8 triliun per tahun, setara dengan 2% dari GDP global untuk subsidi yang merugikan bagi lingkungan. Subsidi ini semuanya berkontribusi terhadap polusi udara dan air, perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, degradasi lahan, dan ketidaksetaraan global.

Kemudian project drawdown solutions, menggunakan skenario yang berbeda untuk menilai apa yang ditentukan. Upaya global untuk mengatasinya terlihat, drawdown scenario 1 kira-kira sejalan dengan kenaikan suhu 2 celcius pada tahun 2100. Sedangkan drawdown scenario kira-kira sejalan dengan 1,5 celcius kenaikan suhu di akhir abad yang berdampak project emissions secara global.

Kepentingan relatif dari solusi yang diberikan dapat berbeda secara signifikan tergantung pada konteks dan kondisi ekologi, ekonomi, politik, atau sosial tertentu. Kebutuhan untuk beralih dari ekonomi linier ke ekonomi sirkular mengunakan sistem untuk pertumbuhan inklusif yang berkelanjutan dari pengelolaan sampah ke ekonomi sirkular. Ini beralih dari pengelolaan sampah ke pengelolaan sumber daya dalam ekonomi sirkular. Sistem inovasi dalam konteks sosial-ekonomi lebih radikal dan lompatan dari teknologi inovasi yang otonom.

Circular bio economy bertujuan untuk memberikan kesejahteraan yang berkelanjutan melalui penyediaan jasa ekosistem dan pengelolaan sumber daya hayati yang berkelanjutan (tanaman, hewan, organisme mikro dan biomassa turunan termasuk sampah organik). Hal tersebut didukung oleh energi terbaru dan mencakup serta menghubungkan secara holistik dan sektor yang terdiri dari sektor produksi primer (pertanian, kehutanan, perikanan, budidaya, dan akuaponik). Juga, didukung ekosistem darat dan laut serta infrastruktur hijau dan layanan yang mereka berikan di kota.

Untuk ekonomi hidrogen, 96% hidrogen komersial dihasilkan oleh transformasi bahan bakar fosil (gas alam, minyak berat, naptha, batu bara). Itu menghasilkan produksi CO2 tahunan sebesar 560 juta ton setara dengan 1,7% emisi CO2 terkait energi global. Ada 3 opsi hidrogen untuk transisi energi yaitu Hidrogen hijau, Biomassa/ limbah makanan menjadi biohidrogen dengan atau tanpa penangkap karbon dan stroge, dan Hidrogen biru dihasilkan dari gas alam/ batubara, di mana emisi ditangkap menggunakan penangkapan dan penyimpanan karbon.

Sedangkan untuk biomassa, menggunakan teknologi produksi bio-hidrogen fermentasi seperti fermentasi gelap dan kamera fermentasi foto. Fermentasi gelap menghasilkan campuran karbondioksida, hidrogen, amonia, dan uap air. Bakteri rekayasa biologis dapat meningkatkan hasil hidrogen. Metode fermentasi dapat menyediakan amonia, energi untuk transportasi dan peralatan di lokasi, untuk menyimpan energi musiman, serta sampah makanan. Sepertiga makanan yang dihasilkan untuk konsumsi manusia adalah sampah.

Di Australia, sampah rumah tangga sekitar 15% dari makanan yang mereka beli setiap tahun. Diperkirakan 361 kg sampah makanan per orang setiap tahun, dengan nilai tahunan 5,2 miliar. Limbah makanan tersebut tinggi karbohidrat sehingga ideal untuk produksi biohidrogen.

Teknologi dari sisa makanan dan dark feedmentation menggunakan bakteri bioenergi direncanakan untuk proyek skala besar. Apa keuntungannya? Ekosistem yang kaya keanekaragaman hayati dapat digunakan sebagai sumber daya baru untuk produk bio yang berkelanjutan, penerapan prinsip cascading untuk memastikan efisiensi penggunaan sumber daya biomassa, serta mengontrol dan membalikkan deforestasi. Tantangannya adalah mengelola trade-off dalam persaingan kepentingan untuk sumber daya biomassa. Maka perlu memastikan keseimbangan antara penggunaan biomassa yang berkelanjutan dan melindungi ekosistem dan keanekaragaman hayati, serta pergeseran dari pertanian skala besar ke sistem pangan berkelanjutan. (ANS/ed:AND)