Jakarta – Humas BRIN. Diaspora Melayu Nusantara memberikan banyak pengaruh terhadap keanekaragaman budaya Indonesia saat ini. Hal tersebut mendorong Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah (PR APS), Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra) menyelenggarakan webinar seri #7 bertemakan “Budaya Melayu dan Keindonesiaan” di Jakarta, Kamis (18/8).

Webinar ini dilaksanakan untuk memperingati HUT ke-77 RI, menghadirkan tiga orang narasumber dengan tema berbeda yang mewakili tiga pulau besar di Indonesia. Narasumber tersebut adalah Sarjiyanto dengan tema presentasi “Keberadaan Etnik Melayu dan Pengaruh Budayanya di Kepulauan Banda, Maluku Tengah, Abad ke 16—17”, Amrullah yang menyampaikan “Masyarakat dan Pemukiman Melayu di Sulawesi Selatan 1600—1800”, dan Anastasia W. Swastiwi dengan tema “Jejak Sejarah Melayu di Sumatra dalam Bingkai Indonesia”.

Webinar ini diselenggarakan dengan tujuan untuk menggambarkan diaspora etnik Melayu yang tersebar di berbagai wilayah Nusantara, baik itu Pulau Sumatra, Sulawesi, hingga ke kepulauan di wilayah Maluku.

Kebudayaan melayu merupakan kebudayaan yang melekat pada bangsa sejak dulu dan merupakan kebudayaan nusantara. Yang paling dominan dalam kebudayan melayu adalah persamaan agama, adat, dan bahasa.

Kebudayaan melayu merupakan salah satu pilar penopang kebudayaan nasional Indonesia khususnya dan kebudayaan dunia umumnya, di samping aneka budaya lainnya. Budaya Melayu tumbuh subur dan kental di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Budaya melayu identik dengan agama, bahasa, dan adat-istiadat. Pada dasarnya tiap kebudayaan mempunyai tiga wujud, seperti yang diklasifikasikan oleh koentjaranigrat bahwa kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu ide, aktivitas, dan artefak.

Dalam Sambutannya, Kepala OR Arbastra, Herry Jogaswara menyampaikan, diskusi kemelayuan dalam konteks arkeologi prasejarah dan sejarah dengan kemelayuan Indonesia dalam konteks politik, budaya manuskrip, dan sebagainya. Satu hal penting dalam perspektif arkelogi yaitu melihat relasi kemelayuan dan keindonesian. Arkeologi tentu berbasis material, maka harus kuat, mulai dari permukiman yang bisa memperlihatkan kemelayuan dalam relasi keindonesiaan maupun nusantara.

Kemelayuan sangat menarik, wilayah melayu tidak hanya kultural. Mereka mempunyai grup diskusi yang memperbincangkan suatu bahasan, seperti reog ponorogo. Masalahnya bukan klaim namun bagaimana sebuah tradisi dan seni yang kemudian punya akar budaya nusantara yang kuat. Selama ini ada pendapat, misalnya negara lain bisa mengklaim. Klaim itu misalnya reog di Malaysia yang hidup dalam kumunitas. Namun apakah diaspora bisa klaim tersebut ada di manuskrip dan prasasti, sehingga otentisititas bisa dipertangungjawabkan?

Herry berharap, diskusi dapat memberi pengayaan pengetahuan terkini bagi relasi kemelayuan dan keindonesiaan. Anggapannya, kemelayuan bisa hadir di pulau-pulau besar yang saling berinteraksi dengan budaya lokal. Otensitasi keaslian kemelayuan bertemu budaya lokal sehingga ada definisi kemelayuan timur dan lainnya.

Sarjiyanto membahas terkait keberadaan etnis melayu dan pengaruhnya di kepulauan Banda, Maluku Tengah abad 16-19. Sarjiyanto mengungkapkan, Melayu di Kepulauan Banda telah hadir sejak abad ke-15 Masehi, bahkan sebelum masuknya bangsa Eropa. “Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya penggunaan bahasa Melayu dalam komunikasi masyarakat setempat, penamaan tempat atau topomini yang dipengaruhi oleh budaya Melayu, masjid dan makam kuno, hingga penggunaan gelar datuk di tengah-tengah masyarakat di Kepulauan Banda,” tegas Sarjiyanto.

Ia menyampaikan kepulauan Banda dengan kelebihannya pada tanaman rempah dan pala. Ini mengundang pedagang asing berdatangan untuk mencari komoditi dari sumber aslinya. Sebelum kedatangan bangsa Eropa pada tahun 1599, orang-orang Melayu telah berlayar dan berdagang dari pusat perdagangan di ujung barat Melaka hingga ujung timur Maluku. Pada awal abad ke-16 Tome Pires mencatat, pedagang Jawa dan Melayu berhenti di Sumbawa dan Bima untuk mendapatkan kain lokal untuk pasar di Maluku.

Bukti pengaruh budaya melayu di Banda di antaranya penggunaan bahasa melayu dalam berkomunikasi, penamaan tempat, penyebaran ajaran islam, penggunaan istilah atau kata melayu, serta penamaan nama tempat pengolahan pala. Etnis Melayu banyak mempengaruhi secara budaya dan religi di wilayah Maluku umumnya dan Banda khususnya. Secara umum bahasa Melayu penyumbang besar terbentuknya bahasa Indonesia.

Sementara, Amrullah membahas masyarakat dan permukiman melayu di Sulawesi Selatan tahun 1600-1800. Ia mengatakan, ada banyak pemukiman Melayu yang tersebar pada beberapa wilayah di Sulawesi Selatan yang hadir karena adanya aktivitas perdagangan rempah.

“Para pedagang dari Ujung Tanah atau Johor, Pahang, dan Patani telah masuk ke Sulawesi Selatan untuk mengumpulkan dan memperdagangkan komoditas utama seperti cendana, hasil laut berupa cangkang penyu, dan beras,” ucap Amrullah. Menurutnya, penanda orang melayu yaitu tituler ince, encik, atau anceq. Selain titular, orang melayu juga dikenali dengan gelaran datuk atau tuan di depan nama diri mereka.

Setelah kejatuhan Melaka tahun 1511, para pedagang Melayu memindahkan basis perdagangan mereka ke Sulawesi Selatan. Orang-orang Portugis ketika mengunjungi kerajaan Siang di wilayah barat daya Sulawesi Selatan menjumpai para pedagang melayu dalam jumlah besar. Mereka berasal dari Ujung Tanah atau Johor, Pahang, dan Patani.

Permukiman melayu tersebut yaitu di Siang, Bori Appa, Pangkajene (1540), Manggallekana, Somba Opu (1561), Salajo, Samrobone, Takalar (1600), Pancana, Tanate (1600), Kaluku Bodoa, Tallo (1632), Kampung Melayu, Makasar (1705) dan Pulau Sabutung (1709).

Paparan terakhir oleh Anastasia dari FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji Kepulauan Riau, diisi dengan menyampaian tentang jejak sejarah melayu di Sumatera dalam bingkai Indonesia. Menurutnya, berbagai produk budaya Melayu telah banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia hingga saat ini, baik itu kuliner, seni, sastra, tradisi, pengobatan, maupun berbagai bangunan cagar budaya. “Tidak hanya itu, bahasa Melayu kini juga telah memberikan sumbangan besar dalam terbentuknya bahasa Indonesia,” jelasnya.

Sebagai bagian wilayah sebuah jaringan benang merah dengan kerajaan-kerajaan yang berada di semenanjung Malaya, termasuk Singapura, pantai timur sumatera, pantai-pantai kalimantan, dari Brunai ke arah barat hingga Banjarmasin dan Riau Lingga. Kerajaan ini sebagian sudah mati dan sebagian masih bertahan dan sekarang terbagi dalam lima negara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunai dan Thailand.

Ras melayu polinesia terdiri dari banyak suku bangsa atau suku dalam konteks rumpun bangsa besar. Indonesia merupakan sebuah masyarakat majemuk (plural siciety) yaitu masyarakat yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang disatukan oleh sistem nasional menjadi sebuah bangsa negara.

Pada masa kini terdapat kecenderungan terutama sesama melayu menyebut dirinya sebagai seseorang yang berada di wilayah administrasi tertentu, seperti melayu kampar, melayu siak, melayu kepulauan Riau dan sebagainya. Anastasia mengungkap, warisan sejarah melayu di antaranya kuliner, seni, wastra, bahasa, tradisi, pengobatan, cagar budaya, dan lainnya.

Semboyan nasional bhinneka tunggal ika secara resmi diterjemahkan sebagai persatuan dalam keragaman. Pandangan resmi pemerintah bahwa meskipun Indonesia adalah tunggal negara terdiri dari berbagai suku bangsa yang berbeda. Suku tersebut seperti suku jawa, minangkabau, batak, bugis, melayu, dan lainnya. Keragaman etnis diterima sebagai fakta historis di mana kesatuan politis bersumber.

Diketahui, bahwa komunitas Melayu yang masuk ke Nusantara telah memberikan pengaruh besar dalam perkembangan religi dan budaya, termasuk pula penyebaran agama Islam pada berbagai wilayah di Nusantara. (NAP-Sur/ed: And)