Jakarta – Humas BRIN. Sastra mempunyai peranan sangat penting dalam membangun peradaban bangsa. Melalui karya sastra, seseorang tidak hanya mengembangkan imajinasi yang bisa digunakan untuk membangun bangsa, tetapi juga sebagai media untuk mewariskan nilai kearifan lokal kepada generasi muda. Kearifan lokal inilah yang membentuk jati diri bangsa Indonesia. Untuk melihat tingkat peradaban suatu bangsa dapat dilihat dari karya-karya sastra yang dihasilkan oleh para penulis sastranya.

Beranjak dari pemikiran inilah, Pusat Riset Kewilayahan – BRIN, menyelenggarakan Sharing Sassion #10 dengan mengangat tema “The Modern Art of Government: Teknologi Mengatur Penduduk, Wilayah, dan Sumber Daya dalam Perspektif Literer Tiga Novel Indonesia Pasca-Reformasi,” pada Jumat (14/07) di Jakarta. Diskusi yang dilaksanakan secara daring ini menghadirkan pembicara Harfiyah Widiawati, Peneliti PRW-BRIN, dengan Pradita D. Dukarno, Peneliti PRW-BRIN, sebagai moderator.

Mengawali pemaparannya, Harfiyah menjelaskan bahwa tema diskusi ini adalah judul dari penelitian sebagai bahan disertasinya. Hal itu untuk melihat di mana titik temunya antara sastra dengan penyelenggaraan pemerintahan. “Ini adalah satu satu contoh penelitian yang tidak ke lapangan, tetapi hanya studies saja,” jelas Harfiyah.

Ada tiga karya sastra yang dibahas dalam penelitian ini. Pertama, novel yang berjudul Lampuki (2011) karya Arafat Nur, yang membahas tentang konflik GAM di Aceh dilihat dari sudut pandang seorang guru ngaji. Kedua, novel yang berjudul Puya ke Puya (2015) karya Faisal Oddang tentang masyarakat adat Toraja dalam menghadapi krisis ketika tanahnya, terutama rumah adatnya harus dijual kepada sebuah perusahaan tambang. Yang ketiga, novel yang berjudul Dawuk (2017) karya Mahfud Ikhwan, yang berbicara masalah masyarakat kampung di Jawa Tengah.

“Sebenarnya yang akan saya bahas ini adalah masalah governmentality, namun saya hubungkan dengan masalah sastra,” ungkap kandidat doktor yang biasa disapa Efi ini. Berbeda dengan governance atau good government, governmentality lebih spesifik lagi, semacam sebuah teknologi untuk mengatur penduduk, wilayah, dan mengatur sumber daya. “Jadi saya menerjemahkan governmentality menjadi kepengaturan, yang konteksnya sangat vital dan luas sekali dalam pemerintahan,” imbuh Efi.

Lebih lanjut Efi menjelaskan bahwa karya sastra bersama-sama dengan koran-koran daerah mengeksplorasi perlawanan kecil sehari-hari dari kelompok sub-ordinat terhadap kekuasaan. Caranya berkebalikkan dengan oposisi politik langsung atau pemberontakan. Kepengaturan dalam karya sastra menjadi tindakan perlawanan simbolis.

Statistik merupakan dokumen negara yang memuat tentang budaya angka, administratif, kuantitatif, sains, dan teknik. Sedangkan novel berisi tentang budaya aksara, non-administratif, kualitatif, humaniora, dan naratif. “Keduanya saling melengkapi wacana kepengaturan dengan data yang berbeda. Sama-sama merupakan representasi dan juga alat intervensi politik. Membangun dan mewakili negara dan menjadi modalitas untuk menjalankan governmentality,” jelas Efi lagi.

Novel-novel yang dikaji menampilkan hubungan antara objek dan subjek kekuasaan tidak stabil, berubah mengikuti kondisi spatial, historis yang khas untuk setiap tempo dan lokalitas tertentu. Ketiganya lebih banyak menyoroti dampak buruk kekuasaan sebagaimana tergambar dalam akhir cerita, namun alur ceritanya juga menampilkan efektivitas kekuasaan. Gambaran pembangunan, kemajuan, dan kapitalisme, adalah sesuatu yang niscaya bagi sebagian besar kelompok masyarakat.

Hal ini tampak pada subjek-subjek modern, yaitu kelompok kelas menengah, pengusaha, dan aparat pemerintah yang mampu beradaptasi dan mengambil keuntungan dari sistem ekonomi dan pengetahuan modern. “Kekuasaan menciptakan hirarki, menormakan yang dianggap tinggi atau rendah. Kekuasaan menciptakan batas antara siapa yang harus hidup dan siapa yang boleh mati. Dan novel merupakan media perlawanan sosial dan budaya,” ungkap Efi.

Ketiga novel menekankan pada ekses kepengaturan, modernisasi, dan pembangunan, seperti penyingkiran atau peminggiran kelompok masyarakat tertentu hingga berujung pada kematian atau kepunahan dari kelompok hirarki terendah. Teknologi penormalan menimbulkan kematian tak langsung atau kematian politis atau kekerasan terstruktur, melalui dominasi perangkat militer, perangkat birokrasi, maupun perangkat non-negara.

Setiap orang cenderung merasa berada di luar sistem, walaupun pada kenyataannya mereka menjadi bagian dari pelestarian sistem tersebut. Para penulis novel pasca-reformasi secara sadar mengkritik kepengaturan di latar wilayah “dunia ketiga” Indonesia, tetapi secara tidak sadar mereka masuk dan menjadi bagian dari sistem literer “dunia pertama”. Mereka secara piawai mengadopsi ciri-ciri modern dalam karya sastra mereka, seperti teknik menulis eksperimental, sudut pandang yang beragam, penelusuran arus kesadaran yang berlarat-larat, serta fokus pada individu dan tema dekadensi. (arial/ed: And)