Jakarta – Humas BRIN. Politik anggaran merupakan salah satu bagian terpenting dari tata kelola keuangan negara ataupun daerah. Pengaruh politik dalam anggaran tak hanya pada tahap penyusunan saja, namun juga berkaitan erat dengan aktor-aktor dibalik politik anggaran. Dimulai dari prosesnya, tahap perencanaan, penggunaan, sampai dengan pengawasan dari implementasinya.
Upaya untuk memperkuat inklusi keuangan nasional menjadi agenda penting pemerintah sejak 2010. Hal ini tentu menjadi sangat menarik apabila dikaitkan dengan bagaimana politik anggaran Indonesia mampu mendukung pencapaian inklusi keuangan. Pernyataan tersebut disampaikan Kepala Organisasi Riset Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat (OR TKPEKM) BRIN, Agus Eko Nugroho, saat membuka webiinar MAFIN TALKS II, Rabu (20/7), di Jakarta.
Webinar yang diselenggarakaan atas kerja sama Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan (PREMK) OR TKPEKM dan Direktorat Kebijakan Ekonomi, Ketenagakeraan, dan Pengembangan Regional (DKEKPR), Kedeputian Bidang Kebijakan Pembangunan ini mengangkat tema “Politik Anggaran dan Inklusi Keuangan”.
“Ini merupakan topik yang luar biasa pentingnya bagi pembangunan nasional,” kata Agus. Inklusi keuangan, lanjut Agus, dalam konteks pembangunan menjadi sangat penting untuk memperkuat aksesibilitas keuangan. Bukan hanya kepada kelompok perpendapatan tinggi, akan tetapi juga untuk semua. “Bagaimana kebijakan anggaran kita mampu memperkuat peran dari institusi keuangan, sehingga memperluas aksesbilitas terhadap masyarakat secara umum,” imbuhnya.
Ketua Umum Komite Nasional Kebijakan Governansi (KNKG), Mardiasmo dalam paparannya mengatakan bahwa aktor penting yang melakukan governansi, terutama di sektor anggaran publik adalah eksekutif dan legislatif. Anggaran pemerintah pusat (APBN) dan anggaran pemerintahan daerah (APBD) merupakan produk dari eksekutif dan legislatif. APBN merupakan produk pemerintah pusat dengan DPR. Sedangkan APBD merupakan produk pemerintah daerah dengan DPRD, baik pemerintah kabupaten maupun kota.
Sehingga, baik APBD maupun APBN sebagai anggaran publik merupakan konsensus politik antara eksekutif dan legislatif. Karena anggota DPR dan DPRD dipilih secara politik, serta kepala pemerintahan baik pusat maupun daerah juga dipilih secara politik. “Jadi APBN dan APBD sebagai anggaran publik merupakan konsensus politik antara eksekutif dan legislatif terhadap program dan aktivitas yang direncanakan. Harapannya, semua untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur,” jelas Mardiasmo.
Menurutnya, organisasi sektor publik perlu menerapkan governansi yang baik untuk menjalankan proses perencanaan, penganggaran, dan implementasinya untuk menghasilkan program yang berkelanjutan. “Karena kalau bicara governance, itu adalah bagaimana kita bicara mengenai jangka panjang. Bagaimana memberikan value, memberikan suatu nilai tambah yang terbaik untuk para stakeholder, terutama masyarakat luas,” jelasnya lagi.
Dinamika politik anggaran antara eksekutif dan legislatif baik di pusat maupun daerah menjadi penentu terciptanya kesetaraan dan keadilan anggaran publik, tanpa mengesampingkan kelompok yang kecil/lemah. Kebijakan politik anggaran yang baik mencerminkan pemahaman persepsi eksekutif dan legislatif yang baik pula. Hal ini tergambar dalam kebijakan anggaran yang maksimal tanpa berpihak kepada kelompok mayoritas maupun minoritas. “Sebaliknya, persepsi aktor yang hanya menguntungkan kaum eksekutif dan legislatif mayoritas dalam merumuskan kebijakan anggaran publik, maka yang terjadi adalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan,” imbuh Mardiasmo.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Ahli Utama PREKM-BRIN, Latif Adam, mengatakan bahwa program pemulihan ekonomi nasional (PEN) tidak secara khusus didesain untuk mendorong meningkatkan inklusi keuangan. Berbeda dengan inklusi keuangan, program PEN tujuannya harus temporer, yakni melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi rumah tangga dan pelaku usaha yang berdampak pandemi Covid-19.
Sementara tujuan inklusi keuangan itu lebih ke jangka panjang Hal itu untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dengan cara mengurangi ketimpangan ekonomi melalui peningkatan dan pemerataan akses masyarakat terhadap produk dan layanan keuangan. Penyaluran bantuan program PEN sebenarnya dapat dilakukan dengan cepat jika masyarakat memiliki akses ke sistem keuangan. Pemberian bantuan program PEN dapat membawa lebih banyak orang ke layanan keuangan, karena mereka harus membuat akun perbankan untuk mengakses bantuan program PEN. “Kita melihat beberapa program, baik itu untuk rumah tangga ataupun pelaku usaha, penyalurannya banyak yang melalui perbankan. Sehingga ini sebenarnya akan berkontribusi terhadap peningkatan inklusi keuangan,” ungkap Latif. (arial/ed: and)