Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra (PR PBS), Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa dan Sastra (OR Arbastra) menyelenggarakan webinar Seri Austronesia dan non Austronesia untuk pertama kalinya, Senin (1/08). Kegiatan yang digelar secara daring ini membahas tema ‘Membuka Cakrawala Bahasa Austronesia di Tatar Sunda dan Semenanjung Sumatra’. Webinar ini menghadirkan narasumber Mahsun M.S dari Universitas Mataram, serta Joni Endardi dan Wati Kurniawati sebagai Peneliti BRIN.

Kegiatan dibuka dengan sambutan Kepala OR Arbastra, Hery Jogaswara. Ia menyampaikan bahwa tradisi diskusi perlu dipupuk untuk mengungkapkan bahasa austronesia dalam bahasa Indonesia. Sebab, bahasa memiliki erat kaitan dengan kebudayaan. Kedua aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mendukung dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Bahasa tanpa budaya tidak akan berkembang dengan baik, begitu pula kebudayaan tidak akan terwujud tanpa adanya bahasa.

Bahasa sebagai cerminan budaya maka di tempat tersebut pula ada peradaban bahasa yang digunakan oleh masyarakat. Perkembangannya tidak dibedakan antara studi sosiolinguistik, antropolinguistik, dan etnolinguistik. Sebab, semua berkaitan dengan studi kebahasaan sebagai bagian dari masyarakat, kebudayaan, dan bangsa atau etnis tertentu. Maka, webinar ini menjadi media kajian untuk membuka cakrawala bahasa austronesia di tataran sunda dan semenanjung sumatra.

Mahsun memaparkan tema bahasa melayu di Indonesia sebagai anggota kelompok Austronesia suatu kajian tentang kedudukan dan fungsinya dalam konteks keindonesiaan. Ia juga menceritakan hasil kongres bahasa di Batam tahun 2015 yang diikuti oleh beberapa perwakilan negara, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, dan Vietnam. Di kongres tersebut digagas agar Bahasa Melayu menjadi Bahasa Internasional, karena pengguna Bahasa Melayu terbanyak nomor empat di dunia. Asal usul Bahasa Melayu berasal dari Nusantara. Bahasa Melayu adalah bahasa yang dikukuhkan sebagai bahasa nusantara. Bahasa Melayu pertama kali ditemukan di Sumatera bagian selatan, pada tahun 620 Masehi di daerah Jambi, yang kemudian menyebar di daerah Riau dan Semenanjung tanah Melayu.

Ia menyampaikan tentang semangat kerja sama kebahasaan dan kesastraan melalui Menteri pendidikan nasional Republik Indonesia. Malaysia dan Brunei Darussalam menyepakati komunie bersama 3 menteri untuk menjayakan bahasa kebangsaan negara masing-masing baik tingkat nasional maupun internasional. Ketiga pemerintah secara bersama akan memantapkan penggunaan bahasa sesuai dengan kedudukan dan fungsinya. Kemudian dalam rangka mengembangkan bahasa Indonesia/melayu, ketiganya berupaya mempertinggi kemampuan bahasa Indonesia/ melayu sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sebagai salah satu bahasa utama dunia.

Mahsun mengungkapkan, unsur pengikat/elemen dalam pembentukan nasionalisme tidak terlepas dari bahasa lokal, jumlah penduduk, bahasa, agama, dan perbedaan warna kulit (RAS). Menurutnya, bahasa merupakan aspek fundamental dalam pembentukan nasionalisme.

Selanjutnya, Joni Endardi dalam paparannya membahas tentang kekerabatan bahasa Melayu di Sumatera Selatan. Kekerabatan ini dibatasi dengan mengambil sampel sembilan isolek, baik yang berstatus sebagai bahasa maupun dialek. Mereka adalah Palembang, Kayu Agung, Panesak, Besemah di Sumatera Selatan dan Bengkulu, serta Semende di Sumatera Selatan dan Lampung, Komering, dan Serawai.

Menurutnya, bahasa Melayu di Sumatera Selatan memiliki keterkaitan dengan latar belakang sejarah munculnya bahasa Melayu sebagai lingua franca. Bahasa Melayu sebagai lingua franca dan bahasa dunia telah diakui berabad-abad yang lalu serta tidak dapat dicerabutkan dari awal berdirinya kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan (Palembang).

Harapan kajian secara teoretis akan bermanfaat bagi pengembangan ilmu Linguistik Historis Komparatif, menambah Pustaka Studi Melayu, dan dialektologi khususnya serta linguistik pada umumnya. Adapun manfaat secara praktis yang diharapkan, berguna bagi pembinaan, pengembangan, serta pemetaan dan penentuan kekerabatan bahasa, baik bahasa daerah maupun Indonesia.

Sementara, Wati Kurniawati menjelaskan tentang pemertahanan Bahasa Sunda sebagai bahasa Austronesia dalam identitas kebangsaan. “Bahasa Sunda termasuk salah satu bahasa daerah tertua yang ada di Indonesia. Bahasa Sunda merupakan cabang dari Bahasa Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia dan sudah digunakan dalam prasasti abad ke-14 yang ditemukan di Kawali, Ciamis. Prasasti ini diperkirakan dibuat semasa pemerintahan Niskala Wastukancana dari Kerajaan Sunda Galuh (1397-1475),” ungkapnya.

Bahasa Sunda sebagai bahasa ibu masyarakat di Kota Cianjur digunakan antar etnis sendiri, sedangkan bahasa Indonesia digunakan antaretnis yang berbeda. Pola penggunaan bahasa ini dapat menyebabkan bahasa pada etnis sendiri mengalami pergeseran bahasa karena beralih menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi antaretnik.

Alasan yang mendasar untuk mempertahankan bahasa Sunda, salah satunya sebagai etnis Sunda tentu memiliki kebanggan baik dari sejarah, budaya, dan identitas etnik. Alasan lainnya, semangat dan rasa memiliki jati diri. Masyarakat Kota Cianjur juga masih menggunakan bahasa Sunda sebagai alat komunikasi. Untuk itu, masyarakat Kota Cianjur mampu mempertahankan bahasa Sunda sampai saat ini. Hal itu karena ada kebijakan nasional dari pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemda Cianjur tentang bahasa daerah. (Sur/ed:And)