Jakarta – Humas BRIN. Pesantren lebih mengedepankan pendidikan yang berbasis pada kemandirian masyarakat, artinya pesantren merupakan lembaga pendidikan dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Hal itu dikatakan Kepala Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PRAK-OR IPSH) BRIN, Aji Sofanudin, dalam sambutan acara webinar Ensiklopedia Pesantren “Dinamika Pesantren Era Disrupsi”, Rabu (3/08).
Aji mengungkapkan, pesantren yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia telah secara nyata memberi kontribusi dalam mengisi kemerdekaan, merawat keberagaman dan toleransi, memperkokoh demokrasi dan mendorong laju pembangunan. Pesantren juga melakukan inovasi pertanian. Sebagai contoh pesantren Al-Hikmah di Brebes, Jawa Tengah yang dilakukan oleh penyuluh kurang berhasil, namun setelah dilakukan olek kyai akhirnya berhasil.
Namun, kita juga tidah menutup mata bahwa di pondok pesantren ada yang terpapar pemahaman radikal juga pencabulan yang dilakukan oleh oknum guru. Maka, webinar ini ditujukan untuk memberi ruang ide gagasan untuk membuat ensiklopedia pesantren modern. Menurut Aji, hal ini dapat dikolaborasikan dengan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pesantren, Ditjen Pendidikan Islam, Kemenag RI.
Aji mengatakan bahwa setelah Undang-undang Nomor 18 tentang Pesantren disahkan pada tahun 2019, jumlah pesantren semakin bertambah mencapai sebanyak kurang lebih 29.000.
Sependapat dengan Aji, Husen Hasan Basri, selaku Peneliti PRAK, mengutarakan undang-undang tersebut hadir sebagai landasan hukum yang kuat dan menyeluruh dalam penyelenggaraan pesantren. UU ini dapat memberikan rekognisi terhadap kekhasannya. Fungsinya juga sekaligus sebagai landasan hukum untuk memberikan afirmasi dan fasilitasi bagi pengembangannya, dalam menyelenggarakan fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
UU ini juga mengembalikan pesantren sebagai pesantren yang sesungguhnya melalui pemenuhan Arkanul Ma’had dan Ruhul Ma’had. Dasar hukumnya memberikan akses dan ruang gerak bagi pesantren untuk dapat bekerja sama, baik antar sesama pesantren maupun dengan lembaga lain. “Di sini diberikan afirmasi dan fasilitasi dalam penyelenggaraan kerjasama tersebut,” tuturnya.
Lain lagi, Ahmad Muntakhib, dari PRAK juga, menyebutkan bahwa pesantren pertama didirikan oleh Raden Rahmat pada Abad 15 M. Kata pesantren berasal dari akar kata santri dengan awalan ‘pe’ dan akhiran ‘an’ berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji.
Ahmad menyoroti tentang belum adanya ensiklopedi yang memuat informasi yang lengkap, padat, dan utuh tentang pesantren modern. Menurutnya, tujuan dari pembuatan ensiklopedia pesantren untuk menyajikan data yang mumpuni terkait dengan pesantren modern. Hal itu sebagai rujukan informasi bagi masyarakat dan pemerintah, untuk mengetahui pola pendidikan pesantren modern, dan melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing pesantren itu sendiri.
Djamaluddin Parawironegoro, Peneliti dan Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, mengungkapkan karakteristik pesantren modern. Di antaranya, pendidikan yang mengintegrasikan asrama/pondok, masjid, dan sekolah, serta mata pelajaran agama Islam dengan kitab klasik dan mata pelajaran ilmu umum. Sedangkan metode pembelajaran yakni yang sesuai dengan materi pembelajaran dalam membantu mempercepat pemahaman santri. Di sini terdapat sistem penjenjangan, pembelajaran klasikal (Sekolah, Madrasah, dan Pendidikan Tinggi), sifat kelembagaannya berbasis pada kepemimpinan kolektif.
Djamaluddin menambahkan, sistem pesantren merupakan kolaborasi dari tujuan pesantren, nilai-nilai dan falsafah pesantren, struktur organisasi pesantren, kaderisasi SDM Pesantren, dan upaya pengembangan. Pesantren juga memiliki unit dan program yang berfungsi pada pengembangan sosial dan ekonomi masyarakat pesantren.
Sementara itu dari Kementerian Agama, Choirul Fuad Yusuf berharap, penyusunan buku Ensiklopedia Pesentren Moderen Indonesia (EPMI) dapat bermanfaat. Manfaatnya antara lain sebagai rujukan keilmuan bagi akademisi, peneliti, penulis dan stake-holders lainnya. Pelestarian pesantren berfungsi sebagai khasanah kebudayaan (cultural legacy) bangsa Indonesia. Maka perlu informasi yang menyeluruh bagi peminat pesantren sebagai salah satu pilihan model pendidikan keagamaan di Indonesia.
Diketahui bersama, tujuan didirikannya pesantren membentuk individu yang unggul di berbagai bidang. Santrinya dididik memahami dan mengamalkan nilai ajaran agama, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, mandiri, serta tolong menolong seimbang moderat. Mereka dibentuk dengan pemahaman agama dan keberagaman yang moderat serta cinta tanah air. Dengan itu maka terbentuk perilaku yang mendorong terciptanya kerukunan hidup beragama, serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang berdaya dalam memenuhi kebutuhan pendidikan warga negara. (Suhe-Sur/ed:And)