Jakarta – Humas BRIN. “Ayu Tingting rambutnya lurus cegah stunting itu harus, Ayu Tingting rambutnya dibuat keriting maka cegah stunting itu penting. Baik keriting maupun lurus, semua penting,” balas Dr. Hasto menjawab pantun dari moderator pada acara Temu Sivitas Pusat Riset, Kesejahteraan Sosial, Desa dan Konektivitas (PRKSDK) BRIN. Acara yang dimoderatori oleh Emma Rahmawati, Peneliti PRKSDK BRIN ini berlangsung hybrid, dengan lokasi pengendalian kegiatan di Kawasan BRIN Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (09/08). Di kesempatan ini, Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo menjadi narasumber didampingi M. Alie Humaedi, Kepala PRKSDK BRIN.
Pada kesempatan kali ini, Hasto Wardoyo memaparkan mengenai “Stunting Versus Parenting, Dilema BKKBN di Tengah Pola Pengasuhan Tradisional Keluarga”. Hasto membeberkan bahwa data stunting sangat banyak. Ia juga menyampaikan arahan Presiden Joko Widodo pada rapat terbatas (ratas) percepatan penurunan stunting yang diminta dengan target di bawah 20% (standar World Health Organization/WHO) menjadi 14%. Tentu saja menurut standar internasional yang dikeluarkan oleh WHO bahwa angka di bawah 20% itu sudah baik.
“Stunting selain gangguan pertumbuhan (panjang badan) juga menjadi gangguan perkembangan, kemampuan intelektual, respon motorik halus/ kasar,” ujar Hasto. Hasto juga mengatakan bahwa mengukur data stunting itu sangat sulit, data yang ada yaitu Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) mengenai stunting harus betul-betul dipahami. “Lima pilar pencegahan stunting di mana salah satu pilarnya yaitu data, harus bagus. SSGI representasi untuk Provinsi itu sangat bagus karena blok-bloknya sangat cukup, tapi ini perlu kajian karena untuk tiap Kabupaten itu belum tentu semua Kabupaten terwakili dengan baik, tergantung blok sensusnya kabupaten tersebut kena berapa,” ujarnya.
SSGI sebagai hasil kolaborasi antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan Badan Pusat Statistik (BPS) yang hasilnya tentu dimanfaatkan oleh BRIN dan BKKBN. Sumber data selanjutnya adalah Aplikasi elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis masyarakat (e-PPGBM) hasil penimbangan di Posyandu, kelemahannya ada bias (penyimpangan/ perbedaan data). “Mata rantai yang harus diputus yaitu faktor lingkungan, air, jamban, dan rumah kumuh tadi sangat penting. Tapi ada juga satu yang perlu diperhatikan yakni proses reproduksi, dari sebelum hamil, hamil, ini satu segmen dalam stunting,” tandasnya.
Sebagai upaya persiapan pengasuhan sejak sebelum hamil/ nikah untuk mencegah stunting, BKKBN merasa sangat beruntung atas masukan BRIN, yang nantinya dalam memberikan penelitian terkait masalah tradisi budaya pengasuhan/parenting. Hasto menjelaskan mengenai prakonsepsi di antaranya apa yang harus dilakukan, hingga butuhnya revolusi pemikiran (mindset) bagaimana masyarakat bisa memperhatikan parenting di 1000 hari kehidupan pertama, sejak konsepsi (pertemuan sperma dan sel telur/pembuahan). Koreksi SDM sebaiknya sejak awal pembuahan.
Lingkungan yang beracun dan limbah semacam rokok serta polusi membuat retardasi pertumbuhan dalam rahim. Residual racun dari bahan makanan juga harus disaring. Dijelaskan oleh Hasto, BKKBN juga melakukan pendampingan dan pendekatan keluarga berisiko stunting. Parenting harus diterangkan secara logis. Selanjutnya, Hasto memaparkan prinsip utama dalam pengasuhan dan pola pengasuhan. Hasto mengharapkan BRIN dan BKKBN bisa semakin solid dalam bersinergi.
Alie Humaedi mengawali paparannya dengan mencontohkan sebuah desa di Bali yang maju. Kepala Desa Taro di Bali dikenal sebagai kepala desa teladan, pengungkit kesejahteraan warga, dan sukses dalam pencegahan stunting. Alie menjelaskan desa ini memberi wawasan berbagai perspektif kebudayaan, pengelolaan tradisi, dll. Pada kesempatan ini, Alie juga mengenalkan buku karangannya yang berjudul tradisi perlindungan sosial pencegahan stunting. Alie membongkar data stunting yang cenderung dinaikkan karena berkaitan dengan anggaran. Data dari desa sering dikemas ulang, di beberapa pulau data nyaris menjadi naik. Data ini menjadi persoalan. Menurutnya, menjadi kualitatif apakah memang lantaran politik anggaran, bilamana semakin tinggi angka stunting maka semakin banyak bantuan kepada daerah tersebut.
Alie juga menjabarkan keseruannya saat menggali data untuk buku yang dia tulis. Berbagai macam keanehan, seperti masyarakat yang tinggal di dekat laut dianggap banyak stunting. Hal ini menjadi rancu karena kebutuhan gizi seharusnya melimpah terpenuhi dari laut. Alie memaparkan temuan terpenting selain data, yaitu penetapan indikator formal kesehatan dan enam tradisi atau kebiasaan pengarusutamaan menu makanan dan pola pengasuhan di dalam keluarga. Hal ini menjadi polemik terutama daerah yang konsepsi patriarkinya sangat kuat. Ini memungkinkan transfer gizi pada anak menjadi bermasalah sehingga mengakibatkan stunting.
Paparan dilanjutkan I Wayan Warka, Kepala Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Dia menginisiasi tim penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa Taro. Warka juga menyampaikan profil desa Taro, kegiatan, program ketahanan pangan, pengolahan sampah menjadi kerajinan tangan, dan pemberdayaan ekonomi warganya. Kegiatan positif ini mengejutkan dan berdampak pada turunnya angka stunting bilamana pada tahun 2018 sebanyak 88 jiwa, saat ini (2022) hanya sebanyak 23 jiwa. Kegiatan ini ditutup dengan diskusi dan tanya jawab. (SGD).