Jakarta – Humas BRIN. Rempah dari Kepulauan Indonesia yang selama ini lebih dikenal adalah bumbu masak, seperti pala, cengkih, dan lada. Begitu pula pengertian baku dalam bahasa Indonesia, yakni berbagai jenis hasil tanaman yang beraroma untuk memberikan bau dan rasa khusus pada makanan. Menurut Peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN, Dana Listiana dalam acara webinar sharing session Sintok dan Garu “Komoditas Rempah Wangi Dari Tanah Dayak Pada Abad ke-19”, Kamis (11/08).

Dana dalam paparannya, menjelaskan jika mengacu pada pengertian yang lebih luas, maka studi rempah di Kalimantan akan sangat kaya karena objek diskusi lebih beragam mengingat wilayah ini lebih dulu dikenal dunia sejak berabad-abad lampau bukan dari rempah bumbu. Kalimantan telah menjalin perdagangan dengan India dan Cina sejak awal Masehi karena wewangian.

Kalimantan tidak sekadar tempat singgah karena menawarkan hasil alam yang bernilai ekonomis, seperti kamper (camphor) dan emas. Komoditi tersebutlah yang kemudian memunculkan penamaan karpuradvipa (pulau kamper) dan suvarnabhumi (tanah emas) bagi Kalimantan (bersama wilayah barat Nusantara). Kamper adalah komoditi permintaan Portugis dari Kalimantan pada abad ke-16. Kamper menjadi ikon sebagaimana halnya cengkih dari Maluku, pala dan bunga pala dari Banda, lada dari Sumatra dan Sunda, juga cendana dari Timor.

Lebih lanjut, Dana mengutarakan bahwa penyebutan kamper juga digunakan untuk penamaan umum berbagai jenis wewangian, bahan pembuatan dupa, tidak hanya untuk spesies kapur barus. Dengan demikian, wewangian lain seperti gaharu, kemenyan, dan berbagai resin kayu (seperti kayu manis liar, sintok, dan petanang) juga kerap disebut kapur atau kamper. Hal ini berbeda dengan lada sebagai komoditi utama ekspor yang sangat signifikan dalam perdagangan. Wewangian memiliki perbedaan karakteristik dengan lada, secara ekologi dan ekonomi.

Wewangian disebut sebagai rempah wangi, istilah spesifik yang diacu berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh seorang pengkaji rempah. Dana mengutip pernyataan Turner yang memaknai rempah sebagai segala sesuatu bagian tanaman (kecuali daun yang lebih lekat dengan fungsi herbal), seperti kulit, akar, pucuk bunga, getah/ damar, niji, buah, dan sari bunga yang memiliki cita rasa dan aroma kuat.

Rempah Wangi Garu dan Sintok

Dana mengatakan, gaharu adalah nama dagang dari bungkalan padat berwarna coklat kehitaman hingga hitam dan berbau harum yang terdapat pada bagian kayu atau akar dari pohon penghasil gaharu. Gumpalan terbentuk melalui proses perubahan kimia dan fisika akibat infeksi jamur. Oleh sebab itu, tidak semua pohon gaharu menghasilkan gaharu, tuturnya.

Di Indonesia, gaharu adalah nama yang umum dikenal. Gaharu juga menjadi sebutan beragam resin atau kayu yang berbau harum meski sebenarnya bukan berasal dari pohon gaharu (Aquilaria sp.). Untuk gaharu jenis ini biasanya diberi nama tambahan spesifik, seperti garu tanduk untuk kayu ramin (Gonystylus sp.) dengan resin yang banyak, garu kapas untuk kayu ramin yang ringan dan sedikit resin, garu tenggelam untuk kayu damar yang tenggelam di air, serta garu timbul untuk kayu damar yang relatif lebih ringan dan mengapung di atas air. Penamaan tersebut memiliki sebutan berbeda di daerah lain, seperti garu buaya untuk garu tanduk, garu capalla untuk garu tenggelam, ataupun tenggatengga untuk garu ramas.

Lebih jauh Dana mengungkapkan, selain itu gaharu disebut juga dengan nama garu oleh masyarakat Dayak, khususnya Kahayan, tutur Dana. Garu secara tradisional digunakan dalam ritual pengobatan atau kepercayaan bersama elemen lain, khususnya manyan (kemenyan). Kedua elemen ritual tersebut dapat dikatakan selalu digunakan bersama sehingga masyarakat mengenal garu dengan sebutan garu-manyan, meski biasanya ada tambahan lain seperti damar (sasating) dan kulit kayu yang wangi.

Gaharu diketahui telah digunakan di berbagai belahan dunia untuk berbagai keperluan.  Gaharu dan rempah wangi lain telah memiliki arti sangat penting bagi seni-budaya hingga kepercayaan Tiongkok sejak sebelum Masehi. Fungsi rempah wangi juga berkembang dalam dunia pengobatan, bahkan termistifikasi dalam kehidupan sehari-hari di Asia Barat, sebut Dana.

Menurut Dana, bagi komunitas Dayak, garu dan kulit kayu sintok digunakan untuk ritual sehari-hari dan momen-momen khusus, seperti dalam pembangunan rumah dan perladangan.  Manfaat garu dikenal selain fungsinya sebagai pengharum, garu juga dikenal luas untuk pengobatan. Kayu garu berkhasiat untuk kram perut, dan penggunaan serupa juga ditemukan di Madura. Getahnya berfungsi untuk mengobati borok kaki kronis. Adapun kulit kayunya biasa dikonsumsi dengan cara dikunyah bersama pinang untuk ditelan getahnya, ujarnya.

Selain garu, wewangian lain yang diperdagangkan adalah sintok. Sintok adalah nama dagang dari spesies Cinnamomum sintok Bl, yang umum dikenal dalam perdagangan pada abad ke-19. Namun, sintok kerap disebut secara awam sebagai kayu manis (kaneel atau kaneelboom). Manfaat dari sintok adalah kulit kayunya, potongan kulit kayu yang panjang dan tebal, berwarna cokelat kayu manis, bentuknya hampir rata, rapuh, berkerut di bagian luar, dan memiliki lapisan kulit terluar berwarna abu-abu. Rasa dan aromanya sangat harum, baunya menyenangkan seperti cengkih dan pala, imbuhnya.

Dana mengungkapkan sintok disebut sebagai obat-obatan Melayu atau obat-obatan bumiputra (inlander medicijn). Dalam buku obat-obatan di Hindia Belanda, sintok dinyatakan bermanfaat untuk pengobatan diare spasmodik dan kronis, yang berefek merelaksasi otot usus. “Sintok kaya akan kandungan getah dan minyak esensial. Kulit kayu ini memiliki efek penguatan pada seluruh saluran usus. Kulit kayu sintok juga digunakan sebagai obat kram saat hamil, dan sebagai pewangi dupa,” ungkapnya.

Ia mengimbuhkan, manfaat pengobatan tersebut yang membuat permintaan garu dan sintok untuk lingkup Hindia Belanda terutama adalah untuk kebutuhan di bidang kesehatan. “Minyak sintok menjadi salah satu produksi utama selain minyak kenanga, minyak jeruk kecil, minyak serai, minyak nilam (patchouli), minyak rimpang, minyak cendana (sandalwood), minyak trawas, minyak akar wangi (andropogon), dan terutama minyak sereh wangi Jawa,” ucapnya. Menutup paparannya, Dana menegaskan rempah wangi, seperti gaharu (agario, aloes) dan sejenis kayu manis (sapan/sepang) tetap menjadi komoditi, meski lada tampak sebagai primadona kawasan selatan Kalimantan yang ditunjukkan oleh sebutan “negeri lada” (pepper country atau peper landen). (Suhe/Ed: And)