Jakarta – Humas BRIN. Pertanian merupakan sektor fundamental suatu negara sebagai penyediaan pangan. Penyusunan strategi pertanian menjadi perhatian khusus agar ketahanan pangan yang berkelanjutan dapat tercapai. Untuk itu Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan (PR EMK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengadakan diskursus Macroeconomics and Finance (MAFIN) Talks Seri 3 yang mengupas tentang Kebijakan Pertanian Indonesia dalam Gejolak Ekonomi Global, Rabu (31/8), secara daring.

Kepala PR EMK BRIN, Zamroni, dalam sambutannya mengatakan bahwa diskursus ini sebagai tempat diskusi para peneliti dan pemangku kepentingan. tujuannya agar sektor pertanian Indonesia sebagai negara agraris ditengah gejolak ekonomi global harus bisa memberikan manfaat dan solusi permasalahan. Hal tersebut tidak hanya kepada konsumen tetapi juga produsen yaitu petani, khususnya petani kecil. “Pemberian subsidi di bidang pertanian selain harus tepat sasaran juga harus menjadi pemicu peningkatkan produktivitas hasil pertanian,” katanya.

Peneliti Senior Kebijakan Pertanian PR EMK BRIN, Herman Subagio menjelaskan Indonesia telah memiliki regulasi dasar pendukung pangan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009. Regulasi ini mengatur perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (PLP2B) dan menjamin ketersediaan lahan untuk pangan berkelanjutan. Sehingga lahan pertanian yang masuk dalam kategori ini terjaga dan tidak beralih fungsi menjadi sektor di luar pertanian.

Selain itu dalam Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021 telah dirumuskan kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan, ketersediaan dan stabilisasi pangan, serta mengoordinir lembaga terkait pangan di bawah Badan Pangan Nasional.

“Saya dengan tegas mengatakan subsidi pertanian itu perlu karena mewujudkan eksistensi negara untuk melindungi petani yang masih perlu dibantu, namun perlu adanya penyesuaian,” tegas Herman. Ia menyebutkan terdapat tiga macam subsidi pertanian yaitu subsidi infrastruktur (bendungan, waduk, embung, akses jalan), subsidi output (kebijakan harga pokok penjualan (HPP), asuransi pertanian), dan subsidi input (pupuk, alsintan, jitut, irigasi).

Uniknya, melihat data statistik dari tahun ke tahun hasil produksi pertanian tidak meningkat walau pemberian subsidi pupuk telah digelontorkan sebesar 30 triliun rupiah setiap tahunnya. Herman menyebutkan perlu adanya kebijakan penyesuaian subsidi pupuk dengan kebijakan program baru agar apa yang dikeluarkan lebih optimal dan tepat sasaran. “Subsidi harus dapat membawa kemandirian petani namun tetap menjamin keberpihakan dan mendukung kesejahteraan petani. Untuk itu kita harus mulai mengalihkan kebijakan subsidi input ke bidang output dan infrastruktur,” ujarnya.

Menurutnya, penyesuaian tersebut dapat dialihkan kepada sisi output yaitu penyesuaian HPP agar petani lebih produktif. Dari sisi infrastruktur dapat dibangun jaringan akses pasar dengan berbagai moda transportasi, khususnya tol laut agar distribusi komoditas dapat merata. Kemudian pengadaan stok gabah dapat melalui gabungan kelompok tani dan subsidi pupuk. Ini dapat diberikan untuk PLP2B yang merupakan bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten. Hal tersebut guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. “Subsidi pada hakekatnya adalah meringankan, tidak bisa di masukkan sebagai fixed cost bagi petani,” imbuhnya.

Hal senada dalam mewujudkan ketahanan pangan juga disampaikan oleh Guru Besar Universitas Lampung (UNILA), Ekonomi Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), dan Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), Bustanul Arifin. Ia memaparkan berdasar data Bank Dunia tampak kenaikan harga gandum akibat faktor geopolitik. Begitu pula dengan kenaikan harga minyak nabati berbanding lurus dengan krisis pangan dan krisis ekonomi global. “Untuk mewujudkan resiliensi pangan nasional kita perlu melakukan transformasi dengan pangan lokal sebagai diversifikasi dan gizi seimbang,” paparnya.

Bustanul menyebutkan pangan lokal tidak hanya sebatas sumber karbohidrat (ubi kayu, ubi jalar, ganyong, kentang, porang, dan lainnya) namun juga sebagai sumber protein, vitamin, dan mineral (ikan, daging sapi, sayuran lokal, buah lokal, dan lainnya). Harapannya, pengembangan model inclusive closed loop system dapat diterapkan dengan optimal dalam sistem pangan lokal. Sistem ini mencakup keseluruhan proses bisnis dari hulu hingga hilir. Cakupannya yaitu fasilitasi produksi, peningkatan sumber daya manusia (SDM), permudah akses pasar, dan pendanaan dengan melibatkan peran pemerintah, kelompok tani, pihak swasta, lembaga swadaya masyarakat, hingga perguruan tinggi. (RBA/ed: And)