Jakarta – Humas BRIN. Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra) BRIN, Herry Yogaswara menjelaskan bahwa epigrafi mempunyai posisi penting dalam mengungkapkan sejarah dari beberapa hal. “Ada beberapa temuan sejarah yang belum berani diungkap secara terbuka ketika epiden dari epigrafinya belum didapatkan,” kata Herry saat memberi sambutan sekaligus membuka webinar Forum Kebhinnekaan Seri #8, Selasa (8/9) di Jakarta.
Lebih lanjut Herry mengatakan, epigrafi menempati posisi penting di dalam riset-riset, termasuk riset-riset arkeologi. Menurutnya epigrafi di BRIN harus menjadi sesuatu yang khas dari penelitian di Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah. Ia berharap para periset BRIN yang bergerak dalam penelitian epigrafi bisa memperdalam dan memperkuat jejaring dalam melakukan riset. “Banyak dari kalangan muda yang tertarik dengan kajian epigrafi,” ungkap Herry.
Herry mengajak para peneliti dari berbagai lembaga untuk bersinergi dan melihat isu-isu baru yang terkait dengan efigrafi. Satu hal yang terkait dengan kegiatan riset BRIN ke depan, salah satunya adalah memberi fokus kepada calon Ibu Kota Negara Baru (IKN). “Kami ingin ada semacam eksplorasi dan ekpedisi, mencoba mencari berbagai temuan yang harus diselamatkan sebelum IKN dibangun,” imbuh Herry.
Meskipun dengan sangat terbatas, namun tahun ini OR Arbastra mendapatkan alokasi anggaran untuk melakukan kegiatan penelitian di wilayah IKN. Harapannya, riset-riset epigrafi juga menoleh ke arah sana, karena jika wilayah itu sudah terbangun, maka tidak akan menemukan apapun. “Ketika IKN sudah terbangun, kita sudah tidak bisa lagi menyelamatkan apa yang ada,” ungkap Herry lagi.
Kepala Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah (PR APS) BRIN, Irfan Mahmud mengatakan, penemuan konsep negara di Indonesia itu sesungguhnya dimulai dengan penemuan epigrafi Yupa pada tahun 1879 di Kalimantan. Dalam konteks IKN, ini menjadi tantangan apakah memang masih ada Yupa atau prasasti-prasasti lain di Kalimantan yang bisa ditemukan. “Karena ini menjadi bagian penting dalam pembangunan IKN itu sendiri,” kata Irfan.
Pada awalnya, sesungguhnya perkembangan riset epigrafi hanya berkaitan dengan sejarah Indonesia kuno. Namun dalam perkembangannya, kemudian kita melihat bahwa epigrafi tidak sekadar bicara tentang sejarah Indonesia kuno, tetapi juga bicara tentang banyak hal. Baik itu masalah kearifan lokal, ke Indonesia-an, termasuk hubungan-hubungan dalam konsep sosial yang lain dalam konteks nusantara.
Bagi Irfan. banyak orang mengatakan bahwa prasasti bukan hanya sekadar dilihat dalam konteks historis saja. “Dulunya riset-riset itu lebih melekat kepada konteks sejarah, tetapi dengan banyak perkembangan metodologi, mungkin prasasti akan memberikan kontribusi yang luas,” ungkap Irfan.
Kegiatan webinar yang mengangkat tema “Perkembangan Penelitian Epigrafi di Nusantara” ini, menghadirkan tiga pembicara.
Pertama, Peneliti Ahli Muda PR APS BRIN, Wahyu Rizki Andhifani memaparkan tentang Kadatuan Sriwajaya: Prasasti-prasasti Terbaru. Wahyu yang juga sebagai Ketua Kelompok Epigrafi ini menjelaskan bahwa sebenarnya Sriwijaya itu bukan merupakan kerajaan, tetapi sebuah Kadatuan yang besar. Kekuatan maritimnya menjadi kekuatan yang cukup disegani saat itu. “Selama ini kita membaca sejarah. Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja. Padahal kalau dilihat dari prasasti, Sriwijaya merupakan sebuah Kadatuan yang dipimpin oleh seorang Datu,” jelas Wahyu.
Hal ini terungkap dengan ditemukannya prasasti Kota Kapur di sebelah utara Sungai Menduk, Desa Kota Kapur, Mendo Darat, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Prasasti ini ditemukan oleh seorang administrator Belanda bernama J.K. van der Meulen, pada bulan Desember 1892. Dalam prasasti tersebut tertulis 606 Saka atau 686 Masehi.
“Ada empat kali terbaca yang terkait dengan Sriwijaya yakni di baris ke-2 terbaca …kadatuan Sriwijaya…, baris ke-4 dan ke-5 terbaca …datu Sriwijaya…, serta baris ke-10 terbaca …Sriwijaya… dengan dua tanda seru,” ungkap Wahyu.
Sementara itu, Peneliti Universitas Negeri Malang, Ismail Lutfi dalam paparannya mengangkat judul “Kajian Prasasti 989 Saka dari Jember”. Prasasti ini ditemukan di Dusun Langsepan, Kelurahan Kranjingan, Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember. Menurutnya ini merupakan sepotong data arkeologi yang unik yang mempunyai dampak besar pengaruhnya untuk kajian sejarah kuno khususnya di wilayah Jawa Timur, terlebih lagi di Jember.
Pembicara terakhir adalah Chaidir Ashari, seorang peneliti di Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Chaidir memaparkan pemikirannya mengenai sebuah prasasti dengan judul Keistimewaan Prasasti Tajuk I dan II. (arial/ed: and)