Jakarta – Humas BRIN. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sangat menarik diperbincangkan. Menanggapi hal tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Ekonomi Makro & Keuangan (PR EMK) menggelar webinar Mafin Talks ke-4 bertemakan “Ketahanan Energi dan Dilema Subsidi”, Rabu (14/9).
Kepala PR EMK, BRIN, Zamroni Salim, dalam sambutannya mengatakan bahwa tema webinar tersebut diambil karena isu subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang sedang hangat diperbincangkan publik. Dibarengi dengan ada sejumlah gangguan dalam proses mengimplementasikan kebijakan pengurangan subsidi BBM, berupa demonstrasi dan lainnya.
“Ketahanan energi seperti juga halnya dengan ketahanan pangan itu pada prinsipnya adalah kondisi terjaminnya ketersedian energi,” ungkap Zamroni. Yang tidak kalah penting adalah akses masyarakat. Di sini pemerintah dan negara belum memerhatikan kemampuan dan akibat dari daya beli masyarakat terhadap energi, dengan harga yang terjangkau dalam jangka panjang tentunya.
Menurutnya, ketika bicara jangka panjang tentang energi, maka perlu diperhatikan juga aspek lingkungan hidup. Sebab, BBM adalah energi berbasis fosil yang tidak terbarukan. Oleh karenanya, dalam mengupayakan terwujudnya ketahanan energi, penting bagi kita untuk melihat inovasi energi. Kita juga mengembangkan munculnya kemanfaatan energi terbarukan yang belum tersedia secara ekonomi. Dalam artian, ada sejumlah sektor industri yang mencoba menyediakan energi terbarukan ini tetapi belum mencapai sekala ekonomis.
“Selama ini kita sangat tergantung terhadap energi berbasis fosil bersubsidi. Sementara ketika berbicara subsidi, maka akan banyak pihak dan aktivitas ekonomi yang terkait,” ujarnya. Ia juga mengatakan, subsidi bertendensi mendorong eksploitasi sumber daya alam yang berlebih. Hal itu berpotensi mengakibatkan kegagalan pasar karena keuntungan dari proses bisnis tidak dibarengi konservasi lingkungan dan energi.
Zamroni juga menyampaikan, hal penting lainnya dalam kaitannya dengan konsumsi BBM, ada penggunaan BBM bersubsidi yang semestinya diperuntukkan bagi yang berhak menerima, justru diterima oleh orang atau kelompok masyarakat berpendapatan yang tidak berhak menerima.
Zamroni berpendapat, “Mereka yang lebih tinggi pendapatannya cenderung menggunakan BBM tersebut lebih besar daripada yang berhak dan di bawah garis kemiskinan. Ketika pemerintah mengurangi subsidi BBM, mereka yang paling kencang suaranya adalah yang tidak berhak”.
Menanggapi hal tersebut, Komaidi Notonegoro selaku Direktur Eksekutif Reforminer Institute menjelaskan bahwa ekonomi dunia pada tahun 2045 akan bergeser ke Asia-Pasifik. Indonesia yang berada di wilayah ini tentu akan terdampak karena antara ekonomi dan energi tidak bisa dipisahkan seperti dua sisi mata uang. Secara teori, jika ekonomi tumbuh maka konsumsi energi juga tumbuh. Sementara itu, kabar kurang baiknya adalah 85% konsumsi energi global masih merupakan energi berbasis fosil.
“Hati-hati dalam mengatur ini, meskipun kampanye pengembangan energi terbarukan massif. Faktanya konsumsi terbesar masih berbasis fosil,” ujar Komaidi seraya menunjukkan Data tahun 2021, proporsi penggunaan energi fosil di Indonesia sebanyak 89% dan baru 11% menggunakan energi terbarukan.
Secara global, mesin-mesin (mobil, motor, dan lain-lain) diproyeksikan sebanyak 80% masih menggunakan BBM di tahun 2045. Oleh sebab itu, jika bicara mobil listrik masih cukup jauh capaiannya. Sehingga masyarakat diharapkan harus bijaksana dalam menggunakan BBM dan terus mengoptimalkan pengembangan energi terbarukan.
Komaidi juga berujar, filosofi subsidi tujuannya untuk memperbaiki daya beli. Penerimanya adalah yang tidak berdaya beli atau miskin. Menurut data BPS, kelompok garis kemiskinan adalah mereka yang berpendapatan 505.469 rupiah perkapita dalam sebulan. Sedangkan jumlah penduduk dengan status miskin pada semester I tahun 2022 sebanyak 26,16 juta jiwa. Oleh sebab itu, dengan pendapatan 500 ribu rupiah per bulan tentu hanya cukup untuk pangan dan sandang.
“Secara logika, mereka tidak mampu membeli sepeda motor atau mobil. Sementara untuk akses terhadap BBM, minimal adalah orang yang punya motor dan mobil,” imbuhnya. Artinya, ada yang perlu dipertanyakan karena ada logika terbalik. Maksudnya, bagi yang punya motor dan mobil disebut miskin (karena menerima manfaat subsidi BBM), sementara suadara kita yang hanya jalan kaki dan bersepeda didefinisikan sebagai kaya karena tidak mendapatkan subsidi.
Selama ini subsidi justru dinikmati oleh kelompok mampu. Berdasarkan data pemerintah pada tahun 2020, segmen roda empat memiliki porsi konsumsi pertalite sebesar 70% dari total konsumsi nasional yakni 20,35 juta kilo liter. Perinciannya adalah mobil pribadi sejumlah 20,08 juta kilo liter (98,7%), angkutan umum sejumlah 81 ribu kilo liter (0,4%), taksi online sejumlah 122 ribu kilo liter (0,6%), dan taksi sejumlah 61 ribu kilo liter (0,3%). Sedangkan roda dua sebesar 30% atau 8,7 juta kilo liter per tahun. Motor pribadi sejumlah 8,53 juta kilo liter (97,8%), dan ojek/ojek online 192 ribu kilo liter (2,22%).
Dalam hal ini, Panky Tri Febiansyah, Koordinator Perencanaan Makro & Analisis Statistik BRIN berpendapat sama. Panky menjelaskan bahwa manfaat subsidi BBM secara teori baik untuk menjaga kesejahteraan masyarakat, menjaga daya beli, mempertahankan marginal cost tetap rendah sehingga barang-barang yang tercipta juga akan tetap terjaga harganya.
“Subsidi juga memiliki dampak negatif seperti ada ketidakseimbangan fiskal dan volalitas pengelolaan anggaran. Ketika pengeluaran ada realokasi, pasti akan ada kantong lain yang berkurang,” jelasnya. Untuk itu, subsidi yang tidak tepat sasaran justru berpotensi memperlebar kesenjangan ekonomi masyarakat. Kebijakan (menaikkan harga BBM) meskipun pahit harus diambil demi kemanfaatan yang lebih besar. (FTL/ed: And)