Jakarta – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Khasanah, Keagamaan dan Peradaban (PR KKP) menyelenggarakan webinar pada Kamis (15/09). Kegiatan ini membahas komunitas Tionghoa di Nusantara dari sudut pandang sejarah, agama, dan adaptasi kultural. Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa dan Sastra (OR Arbastra), Herry Yogaswara menyikapi secara positif keberadaan Tionghoa dan budayanya sejak zaman para wali. Riset terkait itu, diungkapkannya, telah dilakukan para periset di PR KKP dengan menjalin kolaborasi bersama berbagai pihak.
Contohnya, Herry mengisahkan, BRIN beberapa tahun lalu (saat itu LIPI) telah melakukan penelitian tentang wayang yang berkolaborasi dengan beberapa negara seperti Jepang. Di dalam melakukan riset, para peneliti ini mengangkat hal-hal keseharian yang menjadi tafsir di tengah masyarakat. Banyaknya cara pandang, maka Herry menaruh harapan besar kepada para peneliti untuk semakin memperkuat jaringan dengan memperluar kolaborasi supaya bisa menghasilkan banyak temuan riset.
Hendri Gunawan, Peneliti PR KKP memaparkan tentang penelitiannya pada Tionghoa yang berada di daerah Sulawesi Utara. Ia bercerita, kedatangan warga Tionghoa di Manado diperkirakan terjadi pada 1655. Wilayah tempat tinggal mereka dikenal dengan nama “Kampung Cina” yang terletak di Kecamatan Manado Tengah, sebagai pusat perdagangan di wilayah Manado.
Mereka didatangkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa di wilayah Manado. Kedatangan warga Tionghoa ini untuk membantu pembuatan benteng pertahanan yang dikenal dengan nama De Nederlandsche Vastiegheid, yang setelah diperbarui diberi nama Fort Amsterdam.
Keberadaan Tionghoa di Manado ditandai dengan berdirinya Patung Walanda Maramis (sekarang), Rumah Sakit Koninge Wilhelmina Zieckenhuis (RSU Gunung Wenang dahulu). Berdirinya sekolah Yok Tjae berbahasa pengantar Cina pertama tahun 1915 di Manado oleh Tionghoa Hwee Koan (THHK) dan sekolah Chung Hwa pada tahun 1924 juga menjadi tanda keberadaan Tionghoa di sana.
Sependapat dengan itu, Muhamad Irfan Syuhudi selaku Peneliti PR KKP juga, mengungkapkan keberadaan kepercayaan Khonghucu di Bitung sejak tahun 1980-an. Ia mengatakan, umumnya mereka pendatang dari Manado yang mencari pekerjaan dan akhirnya menetap. Karena belum ada rumah ibadat buat umat Khonghucu di Bitung, mereka sering ke Manado untuk beribadah. Di Bitung, umat Khonghucu beribadat di litang dan klenteng. Keberadaan Khonghucu ditandai dengan berdirinya Klenteng Seng Bo Kiong (2002) dan Litang Kong Miao (Gerbang Kebajikan, 2010).
Sementara peneliti di pusat yang sama, Nurman Kholis, menyoroti selain di Sulawesi Utara, juga ada Tionghoa di Riau. Salah satunya buktinya, bangunan Masjid Besar Raja Haji Abdul Ghani yang dibangun tahun 1823. Pendirian masjid di pulau Buru ini diprakarsai oleh Raja Haji Abdul Ghani, Amir (wakil yang dipertuan muda) pertama kerajaan Riau-Lingga di Pulau Buru.
Nurman menjelaskan, tukang yang mengerjakan pembangunan Masjid Besar Raja Abdul Ghani beretnis Tionghoa yang didatangkan dari Singapura. Tukang ini juga mengerjakan pembangunan kelenteng Sam Po Teng yang letaknya ± 200 M sebelah kanan masjid tersebut. Kelenteng yang berdekatan dengan Masjid Besar Raja Abdul Ghani itu bernama Sam Po Teng dan kemudian berdiri pula cetya Tri Dharma Dewa Bumi. Umur klenteng ini lebih tua dari umur masjid, yang dibangun pada tahun 1815 M.
Lebih lanjut, Masmedia Pinem, juga peneliti PR KKP membahas kedatangan orang Tionghoa ke Nusantara (Jawa dan Sumatera) pertama kali. Hal itu dimulai ketika biksu Buddha Fa-Hsien pada tahun 414 berkunjung untuk menyebarkan agama Buddha, kemudian Hui-Ning tahun 638, lalu I-Ching tahun 671. Ditemukan juga koloni-koloni pemukiman orang Tionghoa, terutama di sepanjang pesisir utara pulau Jawa pada 1923. Pada waktu itu, Kaisar Kubilai Khan dari dinasti Yuan (1280-1367) memerintahkan pasukannya untuk menyerbu pulau Jawa.
Pada abad ke-14, cerita tentang muslim Tionghoa dimulai ketika Cheng Ho, seorang laksamana Tiongkok utusan Kaisar Zhu Di dari dinasti Ming, mengadakan pertemuan muhibah pertama kali ke Nusantara dengan membawa ratusan armada. Lalu di abad ke-15, orang – orang Tionghoa ditemukan untuk pertama kalinya. Pada saat itu, armada perdagangan Cina mengunjungi pelabuhan di Sumatera Timur dan melakukan hubungan dagang dengan sistem barter. Hubungan ini terus berlanjut di mana sebagian pedagang Cina menetap dan bertambah populasinya di kawasan Sumatera Timur.
Lebih lanjut, Pinem mengatakan bahwa ada orang China yang merantau ke Indonesia bernama Tjong Fung Nam atau yang dikenal dengan Tjong A Fie. Saat itu ia masih berumur 1 tahun. Tjong lahir di kampung Sung-kow, daerah Mei Xian, Provinsi Kwang Tung di pedalaman China, tahun 1860. Ia merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga Hakka, dengan ayah bernama Tjong Lian Xiang dan ibu yang bermarga Li.
Pinem menegaskan, keberadaan Tionghoa dapat dilihat dari peninggalan Masjid Lama Gang Bengkok yang merupakan masjid tertua ke-2 di Sumatera Utara. Masjid ini didirikan pada tahun 1874-1885 M, setelah masjid Osmani yang dibangun pada tahun 1854 M. Gang Bengkok dibangun di atas tanah seluas 1.600 m (40 m x 40 m), wakaf dari Haji Muhammad Ali yang lebih dikenal dengan nama panggilan Datuk Kesawan. Pembangunan masjid tersebut dibiayai oleh Tjong A Fie (1860-1921) yang hijrah ke Kota Medan. Peletakan batu pertama pembangunan masjid ini dilakukan sendiri oleh Sultan Makmum Alrasyid Perkasa Alam (1873-1924), sebagai Sultan Deli ke-9 yang berkuasa saat itu. (suhe/ed:And)