Jakarta – Humas BRIN. International Forum on Spice Route (IFSR) 2022 hari ke-3, Kamis (22/9), menyajikan diskusi tentang Jejaring komunitas. Kali ini hadir pembicara, Bona Beding dari Forum Masyarakat Adat Pesisir & Pulau-pulau Kecil Seluruh Indonesia dan JJ. Rizal dari Komunitas Bambu. Sesi dipandu Moderator Ade Solihat dari Rumah Produktif Indonesia. Topik yang dibahas yaitu “Menelusuri jejak jalur rempah”. Jalur rempah sebagai warisan dunia yang diamanahkan kelestariannya. Apakah kita sudah siap menjaga amanah itu?

Bona menjelaskan, gerakan seperti ini harusnya bisa untuk menyalurkan aspirasi masyarakat yang disampaikan ke UNESCO. Ia membahas terkait kesadaran masyarakat soal jati diri akan sejarahnya, darimana warisan itu dia hidupi dan lestarikan. Menurut Bona, inisiasi masyarakat di level bawah yang bergerak selama ini yaitu melakukan kegiatan penguatan budaya terkait jalur rempah. Hal itu bukan proyek yang memang bersifat jangka panjang. Melainkan keinginan pemerintah untuk mengambil kesempatan, serta melakukan gerakan menghimpun kekuatan dari bawah sebagai langkah awal. Ini merupakan antusiasme masyarakat terhadap gerakan, di mana sejarah sebagai jati diri yang membawa kita di masa mendatang.

Sedangkan menurut Rizal, jalur rempah artefak merupakan sejarah alat kebudayaan. Lebih lanjut Rizal menjelaskan, seseorang sebagai pemegang arus dan pelaku aktif, akan menghadapi problem krisis nilai, aspirasi nilai, dan inspirasi. Momentum sejarah yang besar memacu kebanggaan bangsa yang besar. Hal itu bisa mencipta sejarah besar dalam arus gelombang perubahan dunia. Menurutnya, diskusi ini untuk menghidupkan masyarakat agar mereka punya spirit atau kebanggaan terhadap masyarakat di masa depan. Ini menyebabkan antusiasme masyarakat terhadap gerakan serta sejarah sebagai jati diri yang membawa kita untuk masa mendatang.

Rizal melanjutkan, Apa yang diinginkan masyarakat sejalan dengan apa yang sedang digunakan oleh pemerintah. Ada fungsi atau peran seseorang sebagai komunitas untuk merajut keinginan dengan menggunakan program pemerintah.

Selanjutnya, sesi tema “Maritime Culture and Ocean Literacy Development” dibahas oleh Ebi Junaidi, Kepala Divisi Universitas Korporat Samudera Indonesia dan Dr. Tukul Rameyo Adi selaku ahli dari Yayasan Negeri Rempah. Sesi dipandu oleh Moderator, Agustina Dewi Puspita dari Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca.

Ebi memaparkan Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Sejumlah 77% dari total wilayahnya berupa perairan. Indonesia terletak di antara dua jalur pelayaran dunia yang menghubungkan Asia Timur dengan Afrika Eropa. Indonesia memiliki sektor perikanan terbesar kedua di dunia dengan nilai PDB diperkirakan 27 miliar USD. Dengan kondisi ini, Indonesia menyediakan 7 juta pekerjaan. Indonesia juga memiliki sekitar 50% kebutuhan protein hewani negara.

Akan tetapi ada beberapa fakta yang menunjukkan, di balik seluruh potensi dan posisi strategis ini ternyata bernilai 21 miliar terhadap PDB tahun 2019, dengan 4544 persen pengunjung asing melakukan kegiatan wisata bahari dan pesisir.

Sementara menurut Tukul, Indonesia dalam miniatur dunia menjadi tempat pertemuan segala unsur, mulai dari angin sampai ke kerak bumi. Sehingga Indonesia menyediakan sumber daya yang melimpah.

Sesi selanjutnya, tema “Spice and Art means for Knowledge Production” dibawakan oleh Mona Liem dari Connected Art Plarform dan Dewi Kumoratih dari Sekolah Desain, Universitas Binus/Yayasan Negeri Rempah. Diskusi dipandu Moderator Salfia Rahmawati, dari Jurusan Antropologi, UI.

Mona menjelaskan jalur rempah dengan perspektif yang berbeda yaitu perspektif seni dan desain. Ia mengungkapkan peluang – peluang yang bisa dilakukan. Menurutnya, rempah dan seni iu merupakan satu sarana atau situs atau alat untuk produksi pengetahuan. Jalur rempah merupakan satu narasi besar yang membuka ruang supaya bisa meredefinisi ke-Indonesiaan. Jadi ini merupakan salah satu contoh aktivitas yang bisa memberikan ruang untuk re-interpretasi atas jalur rempah seperti yang sudah dilakukan di berbagai daerah. Medianya bisa melalui pameran dan penulisan buku pengayaan sekolah. Sehingga hal itu bisa menjadi satu ruang untuk berekspresi pengalaman baru. Berbicara mengenai instalasi terkait video mapping, ada contohnya salah satunya sebuah workshop tentang jamu. Menurut Kumo, makanan dan minuman bisa menjadi alat diplomasi budaya dan politik. Melalui alat ini, negara asing bisa tertarik untuk mengetahui tentang Indonesia. Masih banyak lainnya yang berpotensi bagi Indonesia untuk mempromosikan Indonesia ke luar negeri. Manfaatnya bisa membantu mencarikan penyelesaian masalah yang kemungkinan dihadapi. Sehingga alat ini bisa memberi pengetahuan dari generasi ke generasi. (ANS/Ed: And)