Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB), Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan dan Humaniora (OR IPSH) BRIN secara rutin kembali menyelenggarakan Forum Diskusi dan Budaya (FDB) seri ke-45 pada Senin, (26/9) secara daring. Pada kesempatan kali ini, topik yang diangkat adalah Traditional Communities in Indonesia: Law, Identity, and Recognition. Topik ini merupakan judul dari buku yang ditulis oleh Kepala PRMB BRIN, Lilis Mulyani.

Dalam sambutannya, Kepala OR IPSH BRIN, Ahmad Najib Burhani menyampaikan bahwa konten dari buku ini membahas isu penting yang sensitif, terkadang kontroversial di Indonesia dan terkadang diabaikan. “Buku ini mengupas tentang ambiguitas status hukum masyarakat adat di Indonesia dan hak tradisional informal mereka atas tanah ulayat. Membahas tentang kurangnya pengakuan masyarakat adat dan hak-hak hukumnya dalam konstitusi Indonesia,” kata Ahmad Najib dalam pidato sambutannya.

Lils Mulyani menjelaskan motivasinya dalam mengambil tema tentang masyarakat adat. “Motivasi saya dalam mengambil tema ini adalah bagaimana menyikapi fenomena berbagai masyarakat adat serta kelompok petani harus terusir dari lahan adat mereka sendiri. Mereka saat ini banyak mengalami marjinalisasi dan diskriminasi pada berbagai hal,” jelasnya.

Ia menceritakan, pada kenyataannya, saat ini kelompok dan masyarakat adat di seluruh dunia sedang mengalami pelepasan dan individuasi tanah leluhur dan tanah ulayat. Selain itu juga mengalami marginalisasi dan diskriminasi dalam setiap aspek kehidupan mereka, seperti hak atas penghidupan, agama, adat, kesehatan, dan terkadang relokasi paksa.

Ia menyebutkan, kelompok ini memiliki tantangan dimana orang/kelompok tersebut dapat mendefinisikan dirinya, pengartiakulasian hal tersebut bisa bersumber dari orang/kelompok itu sendiri atau dari pihak eskternal. Hal yang menjadi masalah adalah ketika pengartikulasian tentang keberadaan komunitas tersebut diterjemahkan dalam peraturan dan segala urusan terkait pengakuan, ini bisa menjadi isu tersendiri bahkan bisa berdampak pada marjinalisasi yang didukung oleh aspek formal.

“Konstitusi kita menyampaikan ketentuan tentang masyarakat hukum adat dilindungi dan memiliki hak-haknya,” sebutnya. Namun seiring berjalannya waktu terdapat banyak perubahan-perubahan yang mempengaruhi peraturan. Karena dalam sudut pandang hukum, peraturan melihat individu sebagai objek hukum, tidak kelompok adat.

Walaupun begitu, ia juga menerangkan bahwa berbagai kelompok adat juga memiliki perbedaan pendapat dan sudut pandang tujuan di internal mereka. Dalam bukunya, ia menuliskan hal yang menarik ketika melihat perbandingan antara masyarakat adat badui dan minang nagari sungai buluh. Dari hasil pengamatannya, masyarakat badui di mulai sejak tahun 1960an telah berhasil mengukuhkan wilayahnya. Ini diakui sebagai hutan lindung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Bahkan di tahun 1982 melalui PT. Perhutani dibuatkan peta wilayah hak ulayat badui. Aspirasi masyarakat badui yang secara kompak mengajukan status hukum tanah ulayat mereka, akhirnya dikabulkan melalui peraturan daerah Lebak no. 32 tahun 2001.

“Proses yang berbeda terjadi pada masyarakat adat minang nagari sungai buluh. Akses mereka ke hutan adat menjadi tertutup di masa orde baru ketika statusnya berubah menjadi hutan negara,” katanya. Memasuki masa otonomi daerah, mereka mulai menyuarakan aspirasinya untuk dapat kembali mengakses hutan adat. Namun yang menjadi masalah adalah, peraturan Provinsi Sumatera Barat menyebutkan bahwa terdapat masyarakat hukum adat nagari secara general, tidak dideskripsikan secara spesifik dalam kesatuan nama-nama masyarakat adatnya. Ditambah salah persepsi istilah nagari, akhirnya hasilnya adalah pengakuan daerah desa masyarakat minang nagari sungai buluh sebagai perluasan dari daerah hutan negara.

“Contoh kasus yang dialami masyarakat badui mendapatkan status hukum atas tanah adat mereka sebagai satu kelompok/masyarakat, bukan sebagai individu, adalah hal yang jarang sekali terjadi,” kata Lilis. Menurutnya, ini memperlihatkan bahwa mereka sangat solid secara internal, memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, mereka juga tidak mengandalkan pendanaan dari luar seperti dana desa dari pemerintah. Kemandirian ini juga memberikan status mereka yang kuat di mata negara untuk mendapatkan pengakuan subjek hukum maupun perlindungan hak tanah ulayatnya.

Hal berbeda terjadi di minang nagari sungai buluh. Berdasarkan hasil penelitiannya, mereka tidak ingin mengikuti konsep dalam Undang-Undang Desa Adat Tahun 2014 untuk menjadi masyarakat yang otonom. Mereka memiliki keraguan ketika memiliki status otonom akan menghilangkan hak mereka atas dana desa dari pemerintah. “Masyarakat adat minang nagari sungai buluh juga tidak memiliki kesatuan yang solid seperti masyarakat adat badui. Di dalamnya memiliki berbagai kelompok/organisasi dengan kepentingan berbeda,” paparnya.

Ke depannya, dari buku ini Lilis ingin mengembangkan ruang lingkup penelitiannya lebih luas lagi. “Alat-alat analisis tadi tidak hanya bisa digunakan oleh kelompok penelitian masyarakat adat tetapi juga misalnya melihat personalitas kelompok petani, serta bisa dikembangkan sebagai penelitian perbandingan dengan negara lain,” ujarnya.

Anna JP Sanders dari CSIRO Australia/Honorary Fellow in the School of Ecosystem and Forest Sciences at the University of Melbourne menjelaskan dari sudut pandang perlakuan negara bagi masyarakat adat aborigin di Australia yang sudah dengan komleks diatur dalam hukum. Berdasarkan peraturan di Australia, situs suci/tanah adat (sacred sites) adalah tempat di dalam lanskap yang memiliki arti atau makna khusus di bawah tradisi Aborigin. Bukit, batu, mata air, pohon, dataran, danau, muara sungai, dan fitur alam lainnya dapat menjadi situs suci/tanah adat.

Lebih lanjut, ia menyebutkan di daerah pesisir dan laut, situs suci dapat mencakup segala hal yang terletak di atas dan di bawah air. Situs suci memperoleh statusnya dari hubungannya dengan aspek-aspek tertentu dari tradisi sosial dan budaya Aborigin, terutama berkaitan dengan ritual-ritual yang dipraktikkan oleh masyarakat Aborigin.

Ia juga memiliki pandangan di Indonesia, hukum sistem kepemilikan tanah yang berasal dari warisan peraturan Belanda serta tuntutan pembangunan ekonomi di masa modern memang tidak sesuai dengan sistem hukum adat tradisional, khususnya hak atas tanah ulayat.

“Bahwa praktik hukum Indonesia saat ini gagal untuk mengakui sifat kolektif kelompok adat sebagai entitas kolektif, dan sifat komunal tanah ulayat,” bebernya. Menurutnya terlalu banyak perubahan serta kebijakan yang tumpang tindih. Sehingga masyarakat adat akan mengalami kebingungan menanggapi kebijakan yang berbeda tentang pengakuan status hukum, baik sebagai subjek hukum maupun status tanah mereka.

Anna juga memaparkan arah penelitiannya ke depan akan lebih menekankan pada tiga poin utama, yaitu pada poin penelitian empiris. Hal itu bagaimana perubahan dalam kebijakan pemerintah diimplementasikan dan bagaimana hal itu akan mempengaruhi kelompok adat. Poin kedua adalah kelompok marjinal, termasuk komunitas adat tidak diakui sepenuhnya secara hukum. “Perlu adanya dialog lintas keilmuan untuk melihatnya dari sisi hukum, antropologi, sosilogi, geografi, dan ilmu sosial lingkungan,” imbuhnya.

Poin terakhir adalah penelitian komparatif dan interdisipliner. “Kita dapat melihat bagaimana tantangan dalam pengakuan dan perlindungan kelompok adat tradisional berada di berbagai wilayah dan negara, dan jalur reformasi hukum dan kebijakan,” jelasnya. (RBA/ed:And)