Jakarta – Humas BRIN. Senin (10/10), Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas (PR BSK), Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa dan Sastra (OR Arbastra), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyelenggarakan webinar seri#6 dengan tema Bahasa dan Sastra sebagai Agen Kebudayaan.
Kegiatan tersebut menghadirkan narasumber, Rosmah Tami dari UIN Alauddin Makasar, Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, seorang Peneliti PR BSK, dipandu Moderator Sri Haryatmo, Peneliti PR BSK.
Dalam sambutannya, Hery Jogaswara, Kepala OR Arbastra menyampaikan, webinar tersebut menekankan tentang istilah agen, yang diibaratkan dengan aktor dari lembaga yang secara aktif hidup bergerak secara terus menerus secara dinamis. Jadi, bahasa dan sastra itu menjadi proses kemajuan kebudayaan di Indonesia.
Menurut Hery, agen harus hidup dalam kebudayaan yang bersifat dinamis, kebudayaan terus bergerak sebagai cara pandang hidup dalam definisi periset harus hidup kebudayaan. Adapun yang diteliti yaitu orang yang hidup dalam komunitas (sebagai partisipasi) untuk memahami kebudayaan yang berbudaya. Bahasa dan sastra mampu memperkokoh kebudayaan yang humanis, keperpihakan kepada bahasa ibu, serta kebudayaan lokal maupun bahasa Indonesia.
Hery mengajak para peneliti untuk melakukan riset humanis pemahaman bahasa ibu. Hal itu disampaikan dalam tayangan video perhatian masyarakat etnik termajinalkan masyarakat hukum adat.
Dipaparkan pula, pada akhir oktober nanti akan ada kongres adat yang membahas terkait depopulasi marginal dan pendidikan masyarakat. Untuk itu Hery berharap masukan dari kegiatan ini. “Banyak harapan kepada periset untuk mendekatkan kepada masyarakat yang diteliti yang dilakukan dialog dan mendapat kesetaraan serta menjadi pembelajar sejati,” tuturnya.
Hery yakin bahwa para periset punya kemampuan untuk menyampaikan hasil penelitian dan bisa berkontribusi Kepada masyarakat. Webinar ini bisa menginspirasi bagi para periset untuk menyampaikan penelitiannya.
Selanjutnya, Ade Mulyanah, Kepala PR BSK menyampaikan, webinar ini merupakan bentuk kontribusi bagi para periset dengan harapan mendapat ruang untuk berkolaborasi dengan semua pihak.
Ade menginformasikan, di Indonesia, dengan jumlah pulau dan bahasa lokal yang begitu banyak, merupakan fakta bahwa Indonesia kaya akan budaya. Unsur budaya dan sastra merupakan benteng kokoh dalam NKRI yang dapat membangun dalam lingkup nasional maupun global.
Aneka bahasa dan sastra yang beragam bisa memproduksi ilmu pengetahuan. Diharapkan, dalam webinar ini bisa memberikan inspirasi bagi periset dan dapat memberikan manfaat potensi budaya.
Sementara Rosmah Tami dari UIN Alauddin Makasar, membahas tentang tema “Ibu Sebagai Agen Perubahan Kebudayaan”. Menurutnya, Kata ibu dalam bahasa arab disebut ummun, berarti pemilik cinta kasih yang tulus.
Kata kebudayaan diasumsikan berasal dari bahasa sansekerta sebagai bentuk jamak dari kata budhi dan dhaya (akal). Kedua kata membentuk satu kata yakni buddhaya. Ki Hajar Dewantara mengartikan budhi dipahami sebagai kemampuan akal sedangkan daya adalah kekuatan yang dimiliki oleh manusia.
Rosmah menyampaikan, mulai abad ke-18 kebudayaan mulai dipahami, adanya penggemblengan mental manusia. Kebudayaan erat kaitannya dengan peribuan, karena ibulah yang melahirkan dan mengasuh manusia, ibulah yang menggembleng serta membudayakan manusia melalui bahasa ibu.
Di masa lalu, ibu dan kebudayaan dalam banyak tuturan perempuan digambarkan sebagai nature yang berarti alam, kodrat atau asal usul, yang digambarkan sebagai pemberi kehidupan, pengasuh, penjaga.
Dalam konteks penelitian, ibu digunakan sebagai agen perubahan dalam menanamkan nilai-nilai modern terhadap anaknya. Ibu juga digunakan sebagai mesin untuk memproduksi generasi yang digunakan dalam peperangan atau dalam perkembangan ekonomi. Ibu juga dipaksa menelan obat untuk mengontrol jumlah penduduk.
Kemudian Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, Peneliti PR BSK membahas topik “Bahasa Ibu dan Agen Kebudayaan”. Ia menyampaikan bahwa bahasa ibu merupakan bahasa yang dikuasai pertama kali oleh seseorang. Bahasa ibu tidak selalu sama dengan bahasa daerah. Bahasa ibu yang digunakan seseorang dapat berupa bahasa daerah dan dapat pula berupa bahasa Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah cenderung menggunakan bahasa ibu sebagai alat komunikasi sehari-hari. Sebagian besar bahasa daerah menjadi bahasa ibu masyarakat yang tinggal di daerah.
Bahasa daerah lazimnya mempresentasikan budaya masyarakat pendukungnya senhingga setiap bahasa daerah pasti menjadi agen kebudayaan suatu masyarakat. Bahasa daerah perlu ditransmisikan kepada generasi penerus agar budaya yang diusung oleh masyarakat. Pendukungnya dapat dipertahankan secara dinamis dengan tetap memperhatikan perkembangan zaman.
Banyak nilai budaya yang dituangkan melalui bahasa dan sastra baik dalam bentuk ungkapan, idiom, semboyan atau petuah dalam bentuk syair, serta pantun atau tembang maupun bentuk karya sastra lainnya. (Sur/ed:And)