Jakarta – Humas BRIN. BRIN melalui Pusat Riset Hukum (PRH) menyelenggarakan webinar yang berfokus pada bahasan temuan penelitian restorasi lahan gambut tropis di Indonesia dari perspektif sosial, hukum, dan ekologi, Rabu (12/10). Kegiatan ini membahas restorasi gambut yang merupakan komitmen Indonesia untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan, serta mengurangi emisi gas rumah kaca.

Kepala Organisasi Riset Ilmu Sosial dan Humaniora (OR IPSH), Ahmad Najib Burhani menyampaikan sebagian besar emisi negara berasal dari deforestasi dan perubahan penggunaan lahan. Hal tersebut termasuk pembukaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit dan mangrove yang diperuntukkan bagi tambak udang dan ikan.

“ndonesia adalah rumah bagi lebih dari sepertiga lahan gambut tropis dunia, setengahnya telah diubah melalui drainase, deforestasi, dan pembakaran terkait pertanian,” ungkap Najib. Indonesia telah berjanji untuk merestorasi lebih dari 2 juta hektar lahan gambut terdegradasi pada 2016-2020 di bawah Badan Restorasi Gambut (BRG) dan 1,5 juta hektar lahan gambut terdegradasi pada 2020-2024 di bawah Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).

Restorasi gambut merupakan persoalan yang kompleks, tidak hanya menyangkut pemulihan biofisik melalui pembasahan dan revegetasi, tetapi juga dimensi sosial karena banyak orang yang hidup dan menggantungkan mata pencahariannya di lahan gambut. “Mendahulukan manusia adalah bagian penting dari persamaan untuk melindungi dan memulihkan lahan gambut tropis Indonesia yang luas,” kata Najib. Ia menegaskan, tanpa komitmen masyarakat di lahan gambut dan pemangku kepentingan lainnya, pemerintah, masyarakat sipil, LSM, akademisi, kami tidak dapat memulihkan lahan gambut secara berkelanjutan.

Najib menambahkan, bahwa BRIN telah melakukan beberapa penelitian restorasi gambut baik dari aspek sosial, hukum, hingga biologis. Nanyang Technological University (NTU) juga melakukan penelitian serupa tentang restorasi gambut dalam perspektif sosial dan ekologi. “Selain itu, diseminasi penelitian terkini tentang lahan gambut diharapkan akan membawa lebih banyak kerja sama antara lembaga BRIN dan NTU untuk menghasilkan publikasi yang sangat internasional,” tutup Najib.

Laely Nurhidayah, Kepala Pusat Riset Hukum BRIN memaparkan bahwa pemberian izin pembukaan hutan lindung untuk food estate melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. 24/2020 tentang Hutan untuk Food Estate dipandang sebagai kebijakan yang bersaing antara peningkatan produksi pangan dan pengurangan emisi gas rumah kaca. Sedangkan visi pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan mengurangi kemandirian impor, serta menyeimbangkan ketahanan dan keberlanjutan pangan.

Laely mengatakan, peluncuran program food estate di Kalimantan Tengah menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat sipil. “Ada ketakutan bahwa pemerintah akan mengulangi kesalahan yang sama pada kegagalan sebelumnya pembukaan lahan gambut untuk eks mega proyek padi yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan, peningkatan emisi gas rumah kaca, hilangnya keanekaragaman hayati, dan konflik penguasaan lahan dengan adat setempat masyarakat,” ujarnya.

Laely mengutarakan bahwa implementasi food estate di Kalimantan Tengah dengan pendekatan dari atas ke bawah seperti perlu beralih ke tata kelola hibrida. Penanaman padi sebagai produk inti di mana ditanam di lahan masyarakat (kawasan tidak berhutan). Pendekatan berikutnya melalui intensifikasi di daerah transmigran dan ekstensifikasi pada masyarakat adat Dayak (Proyek Lahan Gambut/PLG Blok C dan A). Sedangkan pendekatan lainnya melalui pembangunan infrastruktur (seperti bendungan, jalan, irigasi) serta adanya sertifikasi tanah.

Laely juga menambahkan bahwa kerangka hukum yang terkait pada regulasi food estate antara lain Undang-Undang No. 32/2009, Peraturan Presiden No. 109/2020, Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kebijakan No. 24/2020, dan Peraturan Pemerintah No. 57/2006. Laely juga mengatakan bahwa perkebunan pangan di lahan gambut menantang untuk ekstensifikasi program. “Membuka lahan tanpa membakar merupakan tantangan bagi masyarakat Dayak, karena mereka terbiasa dengan perladangan berpindah. Prinsip kehati-hatian harus diterapkan,” imbuhnya.

Made Hesti Lestari Tata, Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN, menyampaikan restorasi sosio-ekologi membutuhkan hubungan pemangku kepentingan yang berarti. Diperlukan kerja sama yang sinergis dan harmonis antar pemangku kepentingan terkait. Meskipun banyak pemangku kepentingan telah mengambil bagian dalam upaya ini, namun hanya sedikit dari mereka yang menyadari peran potensial mereka yang dapat disumbangkan untuk tindakan tersebut. Kegagalan restorasi ekosistem terjadi di mana kurangnya inklusi sosial dan keterlibatan masyarakat.

Ada 3 (tiga) pendekatan restorasi di mana dalam restorasi lahan gambut di Indonesia bekerja menuju perbaikan karakteristik biofisik dan meningkatkan mata pencaharian masyarakat pedesaan. “Paludikultur adalah salah satu dari lima program dalam program konservasi dan restorasi lahan gambut berbasis masyarakat,” ungkapnya. Hesti, menegaskan tujuan mempelajari peran pemangku kepentingan yang peduli dengan restorasi gambut dan memetakan potensi peran mereka dalam rangka untuk menyukseskan restorasi.

Ada beberapa persepsi yang salah dan pemahaman yang rendah tentang restorasi gambut alias paludikultur. “Faktor ego-sektoral dan peraturan yang tumpang tindih terkait upaya restorasi gambut, sosialisasi yang tidak jelas, serta pembagian tugas dan tanggung jawab yang tidak jelas di lapangan mungkin juga karena pergeseran kewenangan sebagai akibat berlakunya UU No. 23 Tahun 2014,” pungkasnya. (SUHE/Ed: SGD)