Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Hukum dan Pusat Riset Politik BRIN mengadakan Webinar dengan tema Pro Kontra KUHP: Kemunduran Sistem Hukum dan Demokrasi di Indonesia. “KUHP sedang hangat diperbincangkan dan webinar ini menjadi upaya dalam memberikan pengetahuan dan juga meningkatkan kesadaran publik ya tentang isu-isu sosial politik di negara Indonesia,” ujar Dr. Athiqah Nur Alami dalam sambutannya. Webinar ini mengundang pembicara Dr. Budi Suhariyanto dan Dian Aulia yang juga Peneliti BRIN, serta Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, pada hari Selasa (13/12) secara daring.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR RI pada 6 Desember 2022 yang lalu. Perlu diakui bahwa pengesahan KUHP ini menjadi tonggak sejarah dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia. “Sebelumnya, KUHP yang berlaku di Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda. Dengan KUHP yang baru ini, setelah melalui proses yang panjang dan perumusannya sejak orde baru, pada akhirnya kita memiliki kitab hukum sendiri yang diharapkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di Indonesia serta mengandung nilai-nilai yang dianut oleh bangsa kita,” jelas Athiqah.

Budi Suhariyanto menjelaskan KUHP baru ini meninggalkan catatan pada reformulasi delik perzinahan. KUHP baru terdiri dari 642 pasal yang di dalamnya mengatur berbagai macam delik, jenis sanksi, tata cara atau pedoman pelaksanaan pidana, dan lain-lain. Dari berbagai macam jenis pengaturan tindak pidana termasuk jenis sanksi-sanksinya yang saat ini terobosannya cukup beragam terhadap pengaturan atau reformulasi 1 (satu) delik saja dapat ditinjau pro dan kontranya dari perspektif yang beragam. Baik dari aspek filosofis, politis, sosiologis, ekonomi, dan budaya.

Criminal Policy sebagai Kebijakan Hukum Pidana atau Politik Hukum Pidana. Garis kebijakan menentukan seberapa jauh ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah dan diperbaharui. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana dan bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, serta pelaksanaan pidana harus dilakukan.

Demokrasi dan dampak politik terutama pada tahun 2023 dengan mendekati tahun Pemilihan Umum (Pemilu) banyak sekali agenda-agenda yang sangat besar berpotensi menjadi ancaman demokrasi. Hal ini kemudian dikaitkan dengan kerangka negara demokrasi global dan pasal-pasal kontroversial. Konsolidasi KUHP menjembatani undang-undang yang sudah ada (existing).

Dian menjelaskan adanya dekolonisasi atau menghilangkan nuansa kolonial mewujudkan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menimbulkan potensi ancaman demokrasi, kenapa? Karena terdapat pasal-pasal yang masih, sudah menjadi, dan sudah pernah diterima oleh masyarakat sipil yang peduli (concern) terhadap apa fokus RUU KUHP ini menunjukkan besarnya negara untuk mengendalikan kebebasan warga negara. Misalnya nanti ada beberapa pasal kebebasan berpendapat di berbagai negara, pasal penghinaan terhadap presiden yang jelas-jelas sudah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi.

Penegak hukum sudah menggunakan undang-undang yang baru dan membatasi kekuasaan agar tidak bilang “ya”, kemudian political will dari pemerintah dan DPR sangat penting untuk membuka ruang dialog yang bermakna. Walaupun sudah diketok palu tetap harus membuka dialog untuk untuk memperbaiki KUHP baru dengan masukan dari massa, juga perlu memperhatikan karena ini bersifat universal berlaku untuk semua orang jadi apa dampak semua orang dari berbagai aspek,” ungkap Dian.

Dekolonisasi adalah narasi yang selama ini dikedepankan oleh tim perumus, cara pandang bahwa kita sudah berhasil dan ini adalah karya besar anak bangsa Indonesia. Kita hanya melihat siapa yang harus diakui dan diingat, dan seterusnya disampaikan kronologinya tapi masalahnya adalah apa itu organisasi atau kolonialisme? Bagaimana kita bisa memberikan argumen tentang pemberlakuan hukum jinayat atau hukum pidana Islam di Aceh? “Konsep NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang juga harusnya membangun kesatuan Hukum dengan memberikan penjelasan-penjelasan atau jalan keluar secara ilmu perundang-undangan untuk menyelesaikan segala masalah, konstitusi negara hukum dan hak asasi manusia,” tutup Bivitri. (ANS/ed: SGD)