Jakarta – Humas BRIN. Rural itu satu lokalitas yang sifatnya agak cair. Hal tersebut berdasarkan data BPS, jumlah penduduk Indonesia cenderung bermukim di perkotaan. Artinya, makin lama makin sedikit wilayah rural. Hal tersebut disampaikan Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra) BRIN, Herry Jogaswara. Ia menyampaikan pada kegiatan webinar “Bahasa, Sastra dalam Komunitas Rural” di Jakarta, Jumat (10/02).
Herry berpendapat, yang disebut rural dalam konteks bahasa, sastra, dan budaya justru bisa juga ditemukan pada masyarakat urban. Misalnya, di beberapa daerah bisa ditemukan nama-nama desa/kampung/kelurahan berkaitan dengan nama-nama daerah di kabupaten atau kota. Dalam perspektif ini, berbicara tentang rural, tidak hanya bicara lokalitas saja, akan tetapi ada di berbagai tempat. Menurut Herry, ini perlu didefinisi ulang seperti apakah sisi guyubnya dan apakah sisi tradisionalnya.
Misalnya saja, ruwatan merupakan harmonisasi kehidupan manusia dengan alam. Ruwatan sesuatu yang sangat penting dan perlu dikaji di dalam keseharian dan juga dari sisi sosiologis.
Sependapat dengan Herry, Ade Mulyanah selaku Kepala Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas (PR-BSK) BRIN mengutarakan, “PR – BSK diharapkan dapat memberikan informasi terkait riset komunitas”. Kolaborasi bisa dilakukan dengan memperhatikan berbagai tema yang ada. Ia mengatakan, di pusat riset ini juga mengkaji kehidupan masyarakat pedesaan yang dilihat dari berbagai karakteristik.
Ade mengungkapkan bagaimana menggali masyarakat rural yang dijadikan objek riset. Hal ini bisa dilihat dalam teori Rurek yang menjelaskan ada beberapa karakteristik. Sisi lainnya, melalui riset dapat menggali potensi masyarakat dan budaya dengan sifat masyarakat yang homogen. Riset berpotensi untuk melihat sisi kehidupan masyarakat pedesaan. Seperti halnya, bagaimana melihat hubungan sesama masyarakat yang lebih intim dari sudut bahasa dan sastra, pergaulan hidup, serta cara meningkatkan perekonomian yang dominan dipengaruhi oleh iklim masyarakat agraris.
Sementara I Dewa Putu Wijana, Dosen Universitas Negeri Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta memaparkan teori Collins (2022). Tidak pernah disangka sebelumnya, ternyata jumlah bahasa daerah di Nusantara lebih dari 700. ”Jumlah itu jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang pernah disebutkan sebelumnya,” ungkapnya.
Lantas ia mengatakan, peranan bahasa sangat besar yaitu sebagai sumber pengetahuan. Bahasa ini sebagai alat untuk menyebarkan dan mewariskan pengetahuan itu dari generasi ke generasi. Adapun semua ilmu pengetahuan tersimpan di dalam berbagai bentuk struktur bahasa dan formula-formula tradisional, seperti idiom, peribahasa, jarwa dhosok, teka-teki, wangsalan, parikan, rura basa, dan sebagainya.
Wijana mengutarakan, berbagai bahasa daerah sangat beragam wujudnya. Hal ini belum banyak dikaji secara serius oleh para ahli bahasa. Semua bahasa, sekecil apa pun jumlah penuturnya tidak boleh punah. Apalagi sengaja dipunahkan karena tindakan ini merupakan “linguicide” yang tidak ada bedanya dengan pemunahan generasi (genocide). Kalaupun ada bahasa yang punah secara alami karena tidak mampu bersaing dengan bahasa lain. Untuk itu, bahasa-bahasa yang pernah ada ini harus didokumentasikan sehingga anak cucu penuturnya dapat melihat bahwa bahasa-bahasa itu pernah ada.
Dwi Atmawati, Peneliti PR – BSK BRIN menyoroti tentang kehidupan masyarakat di lereng gunung Merapi, di mana sebagian masyarakat di lereng Merapi merupakan Islam kejawen. Mereka menjalankan ajaran Islam, tetapi juga melakukan praktik ritual yang dilakukan oleh moyangnya. “Seperti tiap tanggal 1 Sura atau 1 Muharram diadakan upacara sedekah gunung”. Tujuannya agar mereka diberi keselamatan bila terjadi erupsi atau agar Gunung Merapi tidak mengalami erupsi. Sedekah ini merupakan adat budaya dari leluhurnya yang bersifat sakral, di mana sebagian masyarakat percaya adanya wisik, atau ilham yang diterima oleh seseorang ketika akan terjadi erupsi. Dwi juga menyampaikan tentang ruwatan, yang dalam KBBI diterjemahkan sebagai upacara membebaskan orang dari nasib buruk yang akan menimpa. Dalam ruwatan biasanya ada pertunjukan wayang dan pembacaan mantra yang dibacakan oleh dalang. Saat pembacaan mantra, orang-orang yang menyaksikan tidak boleh merokok, makan, minum, dan perempuan hamil tidak diperkenankan berada di tempat tersebut. Pembacaan mantra dan sajen merupakan upaya untuk berkomunikasi dengan dunia gaib dengan tujuan agar terhindar dari malapetaka. “Istilah-istilah dalam sajen sedekah atau ruwatan tersebut menunjukkan kearifan lokal yang turun-temurun,”pungkasnya. (suhe/ed: And)