Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset (PR) Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kembali menggelar Workshop “Strategi Pemberdayaan Pengungsi Luar Negeri di Indonesia sebagai Peningkatan Solusi ke Negara Ketiga”. Kegiatan kali ini merupakan Workshop seri #2 dengan topik “Praktik Baik Pemberdayaan Pengungsi Luar Negeri di Indonesia”. Kegiatan berlangsung daring pada pada Rabu (22/2).
Workshop terselenggara atas kerja sama dengan Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) – Kementerian Hukum dan HAM, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Jesuit Refugee Services (JRS), International Organization for Migration (IOM), dan Resilience Development Initiative Urban Refugee Research Group (RDI-UREF).
Kegiatan kali ini bertujuan memetakan praktik-praktik baik dari lembaga-lembaga yang memberikan dukungan pemenuhan hak pemberdayaan para pengungsi luar negeri di Indonesia dan memetakan problematika, peluang, dan tantangan dalam pelaksanaannya.
Acara diawali dengan pembukaan dan pembacaan Highlights workshop seri #1 oleh perwakilan JRS, Gading Gumilar Putra. Menghadirkan pembicara yaitu Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi – Kota Kupang, Thomas D. Dagang, National Program Officer – IOM, Dea Fajriah, Koordinator Proyek Community Empowerment – JRS, Elisabeth Natalina Huwa, Universitas Atmajaya Jakarta, Prof. Benedicta P. Dwi Riyanti, dan Kepala Kantor Urusan Internasional – Universitas Islam Riau, Rendi Prayuda. Sementara peneliti PR Politik BRIN, Rizka Prabaningtyas sebagai perangkum serta moderator oleh Risye Dwiyani dari RDI – UREF.
Pemberdayaan Pengungsi adalah bagian dari implementasi hak ekonomi sosial budaya (Ekosob) sekaligus komitmen Indonesia secara global. Oleh karenanya penting sekali untuk kita memetakan praktik-praktik yang sudah ada di Indonesia.
Pengungsi yang berdaya itu penting dalam rangka memanusiakan manusia, dalam kasus pengungsi sebagai kelompok rentan pemberdayaan pengungsi, yang tidak hanya untuk bertahan hidup selama berada di wilayah transit yang penuh ketidakpastian. Namun juga, agar mereka memiliki peluang akses/daya saing yang lebih besar untuk melanjutkan hidup baik di negara ketiga atau repatriasi yang merupakan tujuan akhir pengungsi.
Praktik baik menunjukkan bagaimana pelaksanaan program pemberdayaan menjadi bagian dari upaya pemenuhan hak Ekosob pengungsi. Kerja sama, koordinasi, dan sinergi antara pemangku kepentingan di tingkat daerah sangat signifikan pengaruhnya terhadap perwujudan praktik baik pemberdayaan pengungsi.
Pemberdayaan sangat erat kaitannya dengan kohesi sosial. Praktik baik pemenuhan hak Ekosob pengungsi dapat berdaya melalui pendidikan, pelatihan keterampilan, serta kegiatan sosial budaya yang membuka kesempatan interaksi dan kohesi sosial bagi pengungsi dan masyarakat lokal. Harapannya dengan pengungsi yang berdaya maka dapat meningkatkan atau mempertahankan kesehatan mental pengungsi. Diharapkan juga dapat berkontribusi dalam mendukung kesempatan pemindahan ke negara lain melalui jalur pendidikan maupun tenaga kerja.
Praktik baik dalam pemberdayaan juga dilakukan dengan menguatkan aset – aset pengungsi yaitu dengan aset manusia. Contohnya, menguatkan soft skill dan hard skill melalui berbagai pelatihan bersertifikat, coaching clinic, kegiatan yang berbasis keterampilan, dan hobi yang juga mendukung kesehatan mental bagi para pengungsi. Adapun aset fisik antara lain menyediakan fasilitas pendukung kegiatan seperti internet, perlengkapan, serta dukungan material dan peralatan pendukung kegiatan. Lalu aset finansial berupa dukungan parsial transport untuk relawan pengungsi, promosi produk pengungsi di wilayah lokal telah bekerja sama dengan SMART melalui pembuatan Refutera yang menjadi wadah memperkenalkan karya pengungsi berbasis online, serta aset sosial melalui koordinasi lintas kelompok pengungsi, bekerja sama dengan komunitas setempat, diskusi dan kegiatan lainnya sebagai ruang untuk saling mengenal, memahami, dan bekerja sama.
Problematika dan tantangan dalam pemberdayaan pengungsi yang disampaikan dalam pembahasan ini adalah dari segi kerangka hukum. Di sini belum adanya regulasi pusat yang menjadi acuan bagi aktor pelaksana di daerah. Dalam partisipasinya di program pemberdayaan, pengungsi mengalami demotivasi akibat ketidakpastian hidup, keterbatasan kesempatan produktif, serta tekanan internal (dari kelompok pengungsi sendiri) maupun eksternal (dari masyarakat lokal). Padahal mereka perlu perubahan mindset dan begitu pentingnya penguatan kesehatan mental. Kesempatan pengungsi untuk praktik keterampilan masih sangat minim. Di dalam interaksi dengan masyarakat lokal juga terdapat kendala bahasa, stigma, dan prasangka kecemburuan sosial (kekhawatiran persaingan atas peluang kerja).
Langkah-langkah prioritas yang disampaikan agar manfaat pemberdayaan bagi pengungsi dapat maksimal yaitu dengan pemberdayaan dari sisi psikologi, terutama keterampilan dalam penyesuaian kreatif. Jika ini bisa digali maka akan menjadi daya yang dapat terus dikembangkan sehingga para pengungsi memiliki cara berpikir positif sesuai dengan berbagai penelitian yang ada. Sehingga penguatan keterampilan kreatif untuk kehidupan sehari-hari harus menjadi salah satu modul yang diutamakan selain kemampuan ekonom.
Selanjutnya dialog diperlukan untuk meruntuhkan prasangka antara semua pihak. Masing-masing pihak dapat mengecek ke dalam bagaimana kapasitasnya sehingga bisa memunculkan kerja sama. Ini bukan jalan pintas dan butuh komitmen bersama sehingga kita saling menguatkan satu sama lain. Sesama kolaborator selalu terbuka dan menggeser perspektif sekaligus siap untuk belajar bersama.
Langkah selanjutnya adalah regulasi resmi terkait akses pengungsi dalam peningkatan kapasitas. Dengan adanya regulasi tersebut memudahkan semua pihak untuk bergerak agar tidak ragu/salah langkah serta bisa membuka jalan magang di perusahan swasta. Sehingga apa yang sudah diterima pengungsi bisa dilanjutkan saat sudah mendapatkan resettlement.
Berikutnya adalah kolaborasi dengan perspektif masing-masing yang dinamakan perbedaan struktur tetapi memiliki fungsi yang sama. Sehingga kolaborasi pemerintah bisa dilakukan antara lima stakeholder, yaitu pemerintah, privat, masyarakat, media sosial, dan perguruan tinggi. Semua bisa melakukan pola pemberdayaan yang sama. Dengan demikian pemerintah mampu menghasilkan legalitas pendekatan regulasi yang jelas. Hal ini dapat mencegah konflik yang terjadi di Indonesia. (rsa)