Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PMB), Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH), secara rutin mengadakan kegiatan Forum Diskusi Budaya (FDB). Pada webinar yang ke-53 ini mengangkat topik “Kuntilanak: Ghost Narratives and Malay Modernity in Pontianak, Indonesia.” Kegiatan tersebut menghadirkan narasumber Timo Duile selaku Peneliti dan Dosen di University of Bonn dan Kasmiati selaku Peneliti dan Dosen di Universitas Sulawesi Barat. Pemaparan dipandu moderator Letsu Vella Sundary, Peneliti PMB dan berlangsung daring, Senin (6/3).

Pembahasan mengangkat topik dari artikel jurnal big data, Journal of Humanities and Social, Science, South-East Asia tahun 2020 dan awal 2023. Tulisan tersebut kemudian menjadi viral dan banyak didiskusikan dan diperbincangkan. Dalam masyarakat Indonesia cerita-cerita tentang hal mistis itu masih berkembang dengan sangat luas. Misalnya, kita melihat ada interaksi antara rasionalitas agama dan kepercayaan di dalam masyarakat Indonesia. Isu feminismenya, di mana hantu perempuan yang ditindas hanya bisa membalas mencari keadilan. Itu melalui cara menjadi hantu. Pernyataan tersebut diungkapkan Kepala PMB, Lilis Mulyani, saat memberi sambutan pembuka.

Dalam paparannya, Timo menyampaikan, Pontianak cukup terkenal se-Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Singapura, tidak hanya di Indonesia. Dianggap, Pontianak hadir sebagai sebuah kota dengan sosok hantu yang membuat kota ini memiliki identitas khas mewarnai dinamika dalam pembangunan.

Dijelaskannya, Kuntilanak itu adalah hantu perempuan yang sebenarnya mendiami pohon dan batu-batu atau tempat – tempat yang gelap. ”Dalam paham animisme, biasanya seseorang di suatu tempat bisa punya hubungan dengan roh itu secara ritual, atau bisa berkomunikasi melalui mimpi,” ungkapnya. Sebab, makhluk halus dengan manusia mempunyai hubungan. Tetapi dalam mitos ini, makhluk halus itu diusir oleh masyarakat, sehingga ada perubahan hubungan atau perubahan sosial.

Sementara Kasmiati mengungkap melalui pelacakan Ekofeminisme dalam narasi tentang kuntilanak dalam pembangunan kota, di mana kuntilanak ini masih ada di kota-kota. Kepercayaan akan mitos tersebut tersirat sebagaimana contoh, ”Ketika ada pohon yang sangat besar dan sampai sekarang masih ada, bahkan tidak ditebang karena dipercayai di pohon itu ada makhluk yang jika ditebang akan mendatangkan banyak masalah,” imbuhnya. Ia berpendapat, yang membahayakan di dunia modern saat ini, yaitu Ilmu sihir yang berbahaya cukup berbahaya lantaran ketidaktahuan masyarakat pada umumnya yang sudah modern.

Sementara, cita-cita pengetahuan modern adalah “revolusi ilmiah” yang segala macam hal harus berbasiskan pengetahuan ilmiah. Sedangkan manusia dan ruh (kuntilanak maupun penunggu) berinteraksi berkelindang dengan narasi pembangunan, modernisasi, isu agama, dan budaya. Hal itu terhubung dengan perubahan ruang sungai, delta, hutan, pohon-pohon yang beralih menjadi ruang bagi mereka.

Ruang – ruang tersebut merupakan salah satu media atau alat yang berpotensi bisa merusak sistem tradisional ataupun alam semesta yang sifatnya natural. Ini yang dikatakan Kuntilanak mungkin kembali menghantui. Sehingga di tengah interaksi tersebut, Kuntilanak dikatakan tidak hilang, akibat pembangunan modernitas, ia hanya diusir atau dipindahkan dalam kerangka membangun kota Pontianak. Maka dilematika di era modernitas ini, bagaimana menyelaraskan sistem tradisi alam semesta bisa berjalan beriringan dengan kehidupan modern. (ANS/ ed: And)