Jakarta – Humas BRIN. Forum Diskusi Budaya, yang biasa dikenal dengan FDB, kali ini memasuki seri 54. Judul kegiatan yang diangkat kali ini yaitu ”Between Decolonization and Intellectual Nativism: Seek the Indonesia Alternative Discourse on Social Science”. Diskusi tersebut berlangsung daring pada Senin (21/03).

Dalam sambutan Kepala Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PR MB), yang disampaikan oleh Peneliti PR MB, Halimatusa’diah, FDB merupakan jembatan untuk mempertemukan akademisi dan masyarakat dalam memperkuat peran PR MB, sebagai rujukan nasional maupun internasional. Ia menegaskan, FDB memiliki komitmen dalam mendukung terciptanya komunitas akademik tidak hanya dari sisi ilmu sosialnya, akan tetapi dari disiplin ilmu lainnya secara multidisiplin.

Halima mengatakan, ”Kegiatan ini untuk membahas sejarah dekolonialisasi ilmu-ilmu sosial dan jejaknya di Indonesia. Dan juga perubahan yang terjadi di masa Soeharto, kaitannya dalam upaya dekolonialisasi, serta perubahan kesinambungan para ilmuwan sosial Indonesia di masa rezim otoriter”.

Untuk mendukungnya, PR MB saat ini memiliki sejumlah peneliti yang sangat produktif. Halima juga menegaskan, PR MB terbuka terhadap gagasan-gagasan dan temuan riset baru. Tentu saja ini penting tidak hanya untuk masyarakat akan tetapi juga bagi negara.

Sementara Wahyudi Akmaliah, Peneliti PR MB, dalam paparannya menjelaskan tentang tulisannya yang berawal atas kemarahan dari tanggapan Syed Hussein Alatas. Dikisahkan olehnya, Hussein saat itu mengatakan belum adanya leading pada ilmu sosial yang ada di Indonesia. Dari hal tersebut pada akhirnya menjadi sebuah paper atau jurnal.

Wahyudi berpendapat, apakah benar orang Indonesia sendiri tidak bisa melakukan itu? Namun Wahyudi menepisnya dengan menjelaskan hasil pengamatannya, bahwa teori-teori ilmu sosial lahir dari Indonesia, tetapi yang mengonsepkan ilmu sosial memang dari pihak luar.

”Indonesia bagi internasional merupakan laboratorium sosial buat mereka!” tegasnya. Di mana ditemukan teori pluralisme oleh Oberl Cart yang dituangkan dalam bukunya dengan judul “The Religion of Java”. Di situ ditemukan istilah abangan, santri dan Kiayai, sebagai konsep etnografi dalam antropologi di dalam sebuah masyarakat.

Lebih jauh, Wahyudi mengungkapkan, dengan ditemukannya teori nasionalisme oleh Benedict Anderson, baginya Indonesia menjadi penting di dalam bukunya yang berjudul “Imagined Communities”. ”Nasionalisme di beberapa negara jajahan terbentuk entitas yang disebut nations. Sedangkan kapitalisme media cetak cukup membantu apa yang disebut nations,” imbuhnya.

Wahyudi berkata, Indonesia menjadi laboratorium yang sangat baik untuk internasional. Perlunya generalisasi ilmu-ilmu sosial yang ada di Indonesia. Gagasan dekolonialisasi ini muncul dari karya Syed Hussein Alatas yang mengungkapkan tentang tradisi otonomi ilmu sosial, untuk membuat “penghubungan penelitian dan pemikiran ilmu sosial dengan masalah-masalah khusus Asia”.

Wahyudi mengutip pendapat Hussein, yang mengatakan dekolonialisasi membaginya menjadi lima agenda, yaitu identifikasi dan penanganan masalah yang pasti, penerapan metode tertentu, pengenalan akan fenomena tertentu, penciptaan konsep baru, dan kaitannya dengan cabang ilmu lainnya.

Sependapat dengan Wahyudi, M. Ikbal Maulana, Peneliti PR MB menyatakan dekolonialisasi sangat penting. Hal ini terlihat bahwa Indonesia sudah lama menjadi laboratorium para peneliti sosial dunia. Yang menarik, dalam menulis dekolonialisasi bertolak dari kegelisahan. Seorang peneliti melakukan sesuatu untuk proses yang kreatif.

Bagi Ikbal, ”Dekolonisasi pengetahuan bukan semata-mata karena sentimen nasionalisme akibat kita besar dan harus mandiri. Itu bukan alasan penting! Yang utama adalah agar mengenali diri kita dengan berbagai masalah dan potensinya”. Mengapa kita memilih dekolonialisasi? Bagi ikbal, karena dalam ilmu alam secara ontologi objek-nya secara fisik adalah orang yang dengan mudah dikenali. Akan tetapi di ilmu sosial, objek maupun subyeknya harus dikonstruksi secara sosial. Artinya, konteks lokal menjadi berpengaruh. Misalnya, keluarga di barat sangat berbeda dengan di Indonesia. Jadi secara persis belum tentu sama. ”Dekolonisasi pengetahuan dapat melihatnya dalam proses mental,” pungkasnya. (suhe/ed:and)