Jakarta – Humas BRIN. Senin (10/7), BRIN melalui Pusat Riset Politik (PRP), Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) menyelenggarakan workshop yang dilaksanakan secara hybrid dengan tema besar: “Strategi Pemberdayaan Pengungsi Luar Negeri di Indonesia sebagai Peningkatan Solusi ke Negara Ketiga”. Workshop ini adalah bagian enam seri workshop PRP yang telah berlangsung sejak awal tahun. Workshop seri ke-6 ini merupakan seri terakhir, yang bertajuk “Pengembangan Model Kebijakan dan Implementasi Pemberdayaan Pengungsi Luar Negeri di Indonesia”,
Dalam kata sambutan pembukanya, Kepala PRP, Athiqah Nur Alami menyampaikan, melalui workshop dapat menjaring pemikiran, ide, gagasan maupun praktik baik tentang pengungsi dari para peserta. “Tidak hanya dari Indonesia, tetapi juga dari negara-negara lain, karena negara transit bukan hanya di Indonesia, sehingga praktik bagaimana melibatkan pengungsi juga menjadi keseriusan kita bersama,” imbuh Athiqah.
Sementara itu keynote speech, Direktur Jenderal HAM, Kementerian Hukum dan HAM, Dhahana Putra menyampaikan, meskipun Indonesia bukan negara pihak konvensi internasional dan protokol tentang pengungsi dari luar negeri, namun Indonesia merupakan salah satu negara transit yang harus melaksanakan tanggung jawabnya. Hal itu menangani pengungsi transit dalam situasi berlarut-larut yang rata-rata telah tinggal 8-10 tahun di Indonesia. ”Komitmen global untuk penanganan pengungsi saat ini cenderung menurun, sebab sumber daya internasional untuk mencukupi hak-hak dasar pengungsi juga tidak mencukupi,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Dhahana menyampaikan, pemberdayaan pengungsi luar negeri dilakukan melalui dua pendekatan yaitu sisi penawaran (supply) yang bertujuan untuk memaksimalkan sumber daya dan meningkatkan harga diri mereka. Sementara itu dari sisi permintaan (demand) bertujuan untuk meningkatkan kemandirian pengungsi, memberikan manfaat bagi komunitas dan tuan rumah, serta meningkatkan persepsi positif bagi pemberi kerja atau pemerintah.
BRIN menginisiasi kegiatan ini bekerja sama dengan lima lembaga/kementerian. Selesai acara sambutan dilanjutkan penyerahan cenderamata yang dilakukan Kepala Pusat Riset Politik kepada perwakilan dari United Nations High Commisioner For Refugees (UNHCR), International Organisation for Migration (IOM), Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Direktur Jenderal Imigrasi – Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Jesuit Refugee Services. Pada kesempatan tersebut perwakilan dari UNHCR menunjukkan contoh karya desain batik dari para pengungsi hasil kerja sama dengan Alleira Batik sebagai wujud pemberdayaan pengungsi.
Dalam sesi diskusi yang dimoderatori oleh Gading Gumilang Putra dari Jesuit Refugee Services/JRS menampilkan lima pembicara handal dan berpengalaman. Pembicara pertama, Tri Nuke Pudjiastuti, Ahli Peneliti Utama BRIN, menyampaikan beberapa poin. Poin tersebut di antaranya pengungsi tidak memiliki aktivitas dan kesehatan mentalnya terganggu. Itu berpotensi menimbulkan persepsi akan ada tindakan kriminal dan keresahan masyarakat. Pengungsi memiliki ketrampilan yang dapat dimanfaatkan untuk kemandirian dan berkontribusi pada masyarakat sekitar. Situasi yang berlarut-larut menempatkan Indonesia sebagai negara de facto yang bertanggung jawab atas HAM mereka.
Dikatakannya, total jumlah pengungsi luar negeri yang ada di Indonesia saat ini berjumlah 12.704 orang. ”Jumlah terbesar dari Afganistan yaitu sebanyak 6.663 orang, lainnya berasal dari Myanmar, Somalia, Irak, Sudan, dan lain-lain,” katanya lagi. Sementara itu, dari pihak IOM hanya membantu dana sekitar 54%.
Namun demikian, Indonesia tetap konsisten untuk menjalankan komitmennya dengan mengeluarkan Keputusan Menkopolhukam RI Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Kepmenkopolhukam Nomor 118 Tahun 2022 tentang Satuan Tugas Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri Tahun 2022-2023. Perubahan tersebut menyatakan adanya sub Satgas Kebutuhan Dasar, Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan.
Pembicara kedua, Bambang Pristiwanto, Asisten Deputi Bidang Kejahatan Transnasional dan Kejahatan Luar Biasa Deputi Bidkoor Kamtibmas, Kemenkopolhukam, menyampaikan materi terkait peran Kemenkopolhukam di dalam penanganan pengungsi luar negeri di Indonesia. Peran tersebut meliputi pemberian akses kesehatan, pendidikan, pemberdayaan, perlindungan, dan penegakan hukum bagi para pengungsi selama di Indonesia. Salah satu upaya Satgas PPLN Kemenko Polhukam terhadap penanganan pengungsi di tahun 2023 adalah mendorong upaya pemindahan pengungsi Rohingya di Provinsi Aceh ke Kota Pekanbaru.
Bambang melanjutkan, bentuk nyata program pemberdayaan dan pendidikan pengungsi dengan pelibatan IOM dan NGO di Indonesia. Hal itu adalah pendidikan formal untuk anak-anak. Praktiknya yaitu mendukung sebanyak 1037 anak-anak selama 5 tahun terakhir dengan 478 terdaftar (dari 1.559 anak usia sekolah saat ini). Adapun pendidikan formal untuk orang dewasa yaitu mendukung sebanyak 52 individu selama 5 tahun terakhir dengan 20 terdaftar saat ini. Sedangkan pendidikan non-formal: mendukung sebanyak 1.817 orang dewasa dan anak-anak yang berpartisipasi dalam kelas pembelajaran kejuruan selama 5 tahun terakhir. Kemudian dalam pelatihan kejuruan, praktiknya untuk mendukung sebanyak 372 individu selama 5 tahun terakhir dengan 111 terdaftar saat ini. Sedang pendidikan melalui magang dapat mendukung sebanyak 41 individu selama 5 tahun terakhir dengan 9 saat ini terdaftar.
Pembicara ketiga, Surya Mataram dari Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian menyampaikan materi pengaturan pengawasan keimigrasian atas aktivitas pemberdayaan pengungsi luar negeri di Indonesia. Hal-hal yang harus diatur di antaranya pengungsi yang boleh bekerja harus memiliki visa kerja. Tempat penampungan dijaga agar pengungsi tetap berada di dalamnya. Pengamanan pada tempat penampungan dilaksanakan Pemerintah Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan Kepolisian. Sedangkan pengawasan keimigrasian di tempat penampungan oleh Rumah Detensi Imigrasi. Jika pengungsi/pencari suaka tidak mematuhi perundang-undangan yang berlaku, maka Direktorat Jenderal Imigrasi wajib melakukan penegakan hukum untuk dilaksanakan.
Pembicara keempat, Achsanul Habib, Direktur HAM dan Kemanusiaan – Direktorat Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri menyampaikan materi Peluang Indonesia Sebagai “Exemplary Model” Dalam Pemberdayaan Pengungsi Luar Negeri. Menurutnya, secara global, jumlah orang yang dipindah paksa akibat konflik, persekusi, dan sebagainya sekira 103 juta orang, dengan 32,5 juta adalah pengungsi dan 4,9 juta di antaranya para pencari suaka. Jumlah tersebut sekira 86 % ditampung di negara-negara berkembang, salah satunya Indonesia. Di Asia Tenggara ada sekitar 300.000 pengungsi, di mana mayoritas berada di Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Sedangkan di Indonesia ada 12.704 pengungsi dan pencari suaka, mayoritas berasal dari Afghanistan, Myanmar, dan Somalia.
Menurut Achsanul lagi, ada tiga hal yang perlu dilanjutkan untuk kasus penanganan pengungsi baik secara nasional maupun secara global bersama-sama. Pertama, penguatan perlindungan internasional dan manajemen mendorong tercapainya solusi jangka panjang serta penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Kedua, perbaikan tata kelola pengungsi. Dengan adanya revisi Perpres 125/2016 menegaskan tupoksi Pemerintah Pusat, Daerah, dan Organisasi Internasional, serta mengenai penggunaan anggaran dan aspek pengungsi non darurat. Ketiga, menyikapi keterkaitan Pengungsi dan Sindikat TPPO dengan penguatan upaya penegakan hukum, edukasi terhadap masyarakat, untuk mencegah pull-factor pengungsi di Indonesia. Tampil sebagai pembicara kelima yaitu Muhammad Ali. Ia adalah Direktur Bina Penyelenggaraan Pelatihan Vokasi dan Pemagangan, Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan Vokasi dan Produktivitas – Kementerian Ketenagakerjaan. Ali menyampaikan materi terkait kegiatan produktif bagi pengungsi melalui pelatihan vokasi. Menurutnya, pelatihan vokasi menjadi solusi rendahnya daya saing angkatan kerja dan pengangguran pada era digitalisasi dan mismatch lapangan pekerjaan pada masa pemulihan ekonomi. Terkait dengan formasi kerja untuk pengungsi, menurutnya, sangat sensitif untuk dibicarakan dengan terlalu vulgar. (Ngd)