Jakarta Humas BRIN. BRIN melalui Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) meluncurkan Jurnal Masyarakat Budaya (JMB) Vol 25 No. 1 tahun 2023 dengan mengangkat tema Menakar Peran Aktor dalam Menghadapi Perubahan Budaya. Hadir selaku pembicara yaitu Tejo Bagus Sunaryo dari STIPRAM, Fitra Delita dari UNM, dan Fanny Henry Tondo dari PRMB sendiri. Acara ini berlangsung secara daring pada Selasa (18/07).

Dalam sambutannya, Kepala PRMB, Lilis Mulyani menjelaskan, di saat perkembangan ilmu sosial dan budaya di tengah gempitanya, serta publikasi global di hampir semua institusi akademik di Indonesia, JMB konsisten memberikan pengetahuan.

Jurnal berbahasa Indonesia ini, yang menurutnya adalah wadah dari hasil riset publikasi yang berkualitas, harus dapat diakses dan dipahami dengan lebih baik. ”Ini lebih baik daripada berjuang keras memahami tulisan-tulisan dalam bahasa Inggris. Tentunya tidak berarti kita juga mengasingkan diri dari perkembangan terkini,” sambung Lilis. Sebab menurutnya, adaptasi juga dilakukan oleh JMB dengan menampilkan abstrak berbahasa Inggris.

Fitra, dalam paparannya mengulas tentang Kabupaten Samosir yang memiliki potensi di bidang pariwisata. Ini termasuk dalam program pemerintah yaitu New Bali. Ia menjelaskan, bahwa Samosir adalah sebuah pulau yang berada di Danau Toba, sekira 86 objek wisata terdapat di sana dan merupakan tujuan wisata internasional. Wisata Samosir telah meningkatkan kesadaran dan pengakuan terhadap budaya lokal, khususnya budaya masyarakat etnik batak toba. Fitra menjelaskan, bahwa masyarakat ini ternyata tidak terlalu berpengaruh dengan adanya urbanisasi dan mobilisasi penduduk.

Dengan adanya wisatawan di Kabupaten Samosir tentu saja memberi dampak pada pariwisata di sana, khususnya ekonomi masyarakat di sekitar objek wisata tersebut. ”Kami menemukan, tinggi potensinya membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal. Sehingga masyarakat mempunyai kesempatan yang lebih untuk meningkatkan kesejahteraannya,” ungkapnya. Hal tersebut mulai dari pengelolaan peserta di bidang akomodasi transportasi, penyediaan souvenir gadget, dan segala macam. Ini juga berpengaruh terhadap penjualan dari produk-produk lokal masyarakat termasuk juga produk pertanian yang menjadi komoditasnya.

Selanjutnya, Hendy memaparkan tentang bahasa minoritas yaitu bahasa anak yang tidak ada mekanisme proses pewarisan bahasa yang baik dari generasi. Ia memberi contoh Papua Barat di mana ada majelis rakyat papua. Dengan itu, menurut Hendy belum ada rekomendasi terhadap hal-hal terkait bahasa dan budaya untuk menyusun regulasi. ”Mereka lebih mementingkan hal-hal yang berkaitan dengan politik. Seperti contohnya, bagaimana mereka bisa diikuti DPRD dan seterusnya,” ungkap Hendy. Sehingga regulasi yang terbengkalai dan juga hal – hal yang terkait kebijakan tidak mendukung.

Lantas Hendy menguraikan beberapa alasan mengapa bahasa perlu dipertahankan. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, artinya mempertahankan bahasa dapat mencegah hilangnya budaya dan cara hidup. Kemudian bahasa merupakan media pewarisan pengetahuan atau kearifan lokal. ”Kita bisa menemukan berbagai macam pengetahuan seperti tumbuhan, binatang, tradisi maritim, tradisi pertanian, dan yang lainnya melalui medium bahasa,” terangnya. Selanjutnya, Tejo Bagus menjelaskan tentang pergeseran fungsi prajurit keraton Surakarta sebagai representasi komodifikasi budaya demi pariwisata. Menurutnya, pariwisata masih sering dianggap sangat pragmatis dan masih fokus pada konsep ‘tour and travel’. Tejo lalu memperjelas, bahwa peran aktor ataupun perubahan-perubahan politik tidak langsung mempengaruhi bagaimana eksistensi. Menurutnya juga, integritas penuturan sangat berkontribusi besar terhadap pelestarian di setiap peran aktor. ”Tidak hanya kualifikasi kebijakan yang tentu juga punya pengaruh atau ada signifikansi yang barangkali perlu dipertimbangkan lebih lanjut,” tutupnya. (ANS)