Jakarta – Humas BRIN. Dalam rangka meningkatkan kualitas dan kapasitas sebagai periset, maka perlu adanya kegiatan webinar yang bersifat dialogis seperti yang dilaksanakan oleh Pusat Riset (PR) Kependudukan, Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) BRIN. Kegiatan yang berlangsung sekali dalam sebulan ini mengambil tema “Sebelah Mata Isu Sumber Daya Alam (SDA) di Tahun Politik”.
Acara ini dibuka oleh Kepala PR Kependudukan BRIN, Nawawi, pada Kamis (20/07). Hadir narasumber berpengalaman yaitu Subarudi, Peneliti Ahli Utama BRIN dan Muhammad Ma’ruf, Kepala Riset Consumer News and Business Channel (CNBC) Indonesia. Acara yang dimoderatori oleh Budiyanto Dwi Prasetyo, Peneliti PR Kependudukan BRIN ini dilaksanakan secara daring yang bisa diakses melalui zoom meeting maupun kanal youtube. Peserta yang hadir adalah para peneliti internal BRIN, CNBC, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Salah satu tujuan dari kegiatan ini adalah sarana untuk sharing, update, maupun diskusi yang sifatnya akademis, sehingga memberikan pengetahuan baru bagi para peneliti dan para peserta,” demikian dikatakan Nawawi saat membuka acara yang biasa disebut Kamisan ini. “Pastinya ini sangat bermanfaat dan diharapkan tidak hanya sebatas diskusi tetapi ada ide-ide konkrit yang bisa ditindaklanjuti. Misalnya, melakukan publikasi maupun penelitian secara bersama atau kolaborasi,” sambungnya.
Subarudi dalam paparannya membawakan topik Paradox Kebijakan Pengelolaan SDA di Tahun Politik. Ia mengatakan, “Sebuah istilah paradoks dari blessing yang biasanya melekat dengan kepemilikan SDA. Mengapa demikian? Ini terkait dengan fenomena di mana negara yang kaya akan SDA tidak serta merta menjadi negara yang makmur”.
Menurut Subarudi, fenomena Natural Resource Curse (NRC) dalam pembangunan wilayah di Indonesia terdiri dari empat hal. Pertama, besarnya penerimaan daerah dari tambang tidak menjamin terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang masif. Kedua, daerah yang melakukan ekstraksi SDA rentan terkena fenomena kutukan SDA. Ketiga, daerah yang mengandalkan migas ternyata lebih rentan terkena NRC dibandingkan daerah penghasil minerba. Keempat, skor daerah dengan skor keberlanjutan yang tinggi cenderung kecil atau jauh dari fenomena NRC. Di mana dengan methode Geometric Mean of Conditional Weighted Product, Provinsi Kalimantan Timur memperoleh skor tertinggi disusul Papua Barat, Papua, Riau dan Aceh.
Terkait dengan tahun politik, Subar menjelaskan hubungan antara eksploitasi SDA dengan Pemilu, yaitu karena ongkos politik di Indonesia yang sangat mahal sehingga diupayakan segala cara untuk mendapatkan biaya politik. Contohnya, ongkos politik jadi Kepala Daerah berkisar antara Rp. 20 – 100 milyar, lalu ongkos politik jadi Anggota DPR pusat sekitar Rp. 6 milyar. Paling mudah adalah pemberian izin dan eksploitasi SDA sebanyak-banyaknya serta revisi RTRW untuk kepentingan pengusaha/oligarki.
Sementara itu Muhammad Ma’ruf menyampaikan paparannya dengan judul Relasi Pengusaha, Politisi, dan Media. Menurut Ma’ruf, Indonesia yang gemah ripah loh jinawi memiliki komoditas unggulan SDA yang berlimpah. Pada tahun 2022, nilai ekspor batu bara mencapai US$ 46,74 juta, menempati peringkat pertama dunia. Pada tahun yang sama ekspor minyak kelapa sawit dengan nilai US$ 27,76 juta, menempati peringkat pertama dunia juga. Komoditas unggulan SDA lainnya yang menempati peringkat atas dunia di antaranya karet, kopi, udang beku, kakao, ikan tuna, tongkol, dan cakalang.
Lalu siapa yang menikmati SDA Indonesia tersebut? Rakyatkah? Para politisikah? Asingkah? Lalu Ma’ruf menguraikan isi UUD’45 pasal 33 ayat 3, berbunyi “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Lalu apakah pasal tersebut sudah benar-benar diimplementasikan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini ? Ma’ruf membeberkan masalah ini dengan meninjau keadilan sosial ekonomi di negara ini, yaitu pertanian, perkebunan, dan kelautan menyerap 39,6 juta tenaga kerja (29,29%), sedangkan sektor pertambangan hanya 1,5 juta tenaga kerja (1,15%); Sementara itu upah bulanan rata-rata buruh pertanian Rp 2 juta, bandingkan dengan pekerja tambang yang mencapai Rp 4,6 juta. Sedangkan para investor asing rata-rata enggan berinvestasi di sektor pertanian, cuma 3,2% dari total realisasi investasi versus 8,2% di sektor pertambangan.
Lebih lanjut Ma’ruf memaparkan data harga batubara naik berlipat, yaitu dari kisaran US$ 50 per ton pada medio 2020, menjadi kisaran US$400 per ton pada tahun 2022 (sumber: data BPS). Sehingga menurutnya, pengusaha tambang sedang berpesta pora pada tahun 2022, namun minim kontribusinya terhadap negara. Contohnya Perusahaan CPO/Batubara, berpusat di Singapura, tapi lahannya di Indonesia. Singapura makin agresif mengakuisisi perusahaan Indonesia. Jumlah perusahaan Singapura yang melakukan akuisisi pada tahun 2022 sebanyak 43, tahun 2021 sebanyak 28 dan tahun 2020 sebanyak 15.
Ma’ruf juga memaparkan relasi oligarki – kelindan pengusaha dan politisi. Data yang diambil dari berbagai sumber, enam dari sepuluh anggota DPR RI yang berjumlah 580 orang berstatus sebagai pengusaha, serta mayoritas pengusaha tambang. Transaksi politik di level eksekutif kira-kira 82% ongkos politik untuk jadi walikota, bupati, hingga gubernur dibiayai oleh cukong atau pengusaha (data survei KPK). (Ngd)