Jakarta – Humas BRIN.  Kepala Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PRAK) Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (IPSH), Aji Sofanudin memberikan sambutan pembuka dalam webinar dengan topik Rehabilitasi Pelaku Permpuan dan Potret Keluarga Teroris di Indonesia, Rabu (26/07). Kegiatan ini menjadi salah satu media kajian pada kelompok riset di PRAK.

Ia menyampaikan, para peserta bisa belajar banyak dari pengalaman-pengalaman pertemuan ilmiah dan yang lainnya dengan tim kajian tersebut. Untuk itu, Aji mengungkapkan tujuan dari kegiatan, yaitu untuk melakukan kajian-kajian mutakhir bidang ekstrimisme dan terorisme yang ada di kampus. Kegiatan tersebut juga bisa menjadi media berbagi pengalaman para peneliti BRIN tentang informasi adaptasi terorisme perempuan dan keluarga.

Lebih lanjut dikatakannya, rehabilitasi merupakan upaya yang penting dilakukan bagi mantan pelaku kekerasan berbasis ekstremisme. Faktanya, selama ini mereka kerap dirundung stigma buruk. Tanpa upaya rehabilitasi, mantan narapidana terorisme dikhawatirkan bisa kembali melakukan kekerasan berbasis ekstremisme.

Selain pentingnya rehabilitasi, fenomena penting untuk dikaji adalah keterlibatan perempuan dalam aktivitas terorisme. ”Menurut data BNPT, kuantitas perannya bertransformasi dari pendukung menjadi pelaku, meningkat dalam 10 tahun terakhir,” ungkapnya. Untuk itu, ia berpendapat, keluarga teroris juga penting untuk diteliti lebih mendalam lagi. Bagaimana pendidikan anaknya, kehidupan ekonomi, dan lainnya.

Sementara itu, selaku pembicara, Anik Farida, Peneliti Pusat Riset (PR) Politik BRIN mengutarakan, telah banyak kajian terhadap perempuan sebagai pelaku terorisme, namun dari seluruh kajian tersebut tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang alasan di balik tren yang muncul tersebut. Ia mengatakan, dalam gerakan teroris, perempuan bisa berada pada tiga posisi. Posisi itu sebagai kelompok rentan yang mungkin terpengaruh oleh pemikiran radikal, sebagai korban, dan sebagai pelaku.

Anik berpendapat, penggunaan perempuan sebagai alat propaganda dalam jaringan terorisme untuk tujuan tertentu menunjukkan mekanisme kerja sistem patriarki, dalam relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Lantas Anik mengutip pendapat Walby, yang menggarisbawahi, bahwa patriarki sebagai suatu sistem di mana laki-laki mendominasi perempuan. ”Teori ini digunakan sebagai alat untuk menjelaskan posisi perempuan dalam jaringan organisasi teroris,” ungkapnya beralasan.

Sementara Zora A. Sukabdi, Dosen Universitas Indonesia dalam paparannya mengungkapkan tentang keluarga atau anak-anak yang terdampak dari perbuatan ayah atau ibunya yang teroris. Di mana acapkali dikatakan dengan kalimat terafiliasi, dan sekarang kata tersebut diganti dengan kata terasosiasi (dari keputusan PBB).

Zora berpendapat, di dalam teori forensik ada yang disebut dengan risk, need, dan responsivity. Hal itu sebelum kita melakukan rehab dengan melakukan pemetaan asesmen dahulu seperti apa yang mereka lakukan, motifnya apa, pendidikan agama seperti apa. Ia mengimbuhkan, gambaran atau informasi yang diperoleh seperti individu yang memiliki risiko tinggi, ada kemungkinan terrekrut.

”Ada yang labil juga, maka akan memiliki risiko terrekrut, dalam memilih sekolah, faktor ekonomi, dan apa yang dilakukan,” jelas Zora. Maka, menurutnya, hal ini tidak bisa direhap, jika belum diketahui kebutuhan dan risikonya, sehingga akan terjadi pemborosan. Jadi apakah benar bahwa Islam itu agama teroris? Zora mempertegas hal itu tidak benar, sebab masih ada doktrin-doktrin lain yang terjadi.

Adapun pembicara Zakiyah, Peneliti PRAK BRIN dalam paparannya mengangkat tema terkait pelaku teroris dalam keseharian. Ia mengungkap, ada yang punya karakter tertutup, ada yang terbuka dan berinteraksi dengan tetangga, ada juga yang karakternya seperti masyarakat secara umum dan ini menjadi bagian dari strategi adaptasi. (suhe/ed:And – dok. suhe)