Jurnal Penelitian Politik Vol. 7 No. 1 Tahun 2010

Jurnal Penelitian Politik Vol. 7 No. 1 Tahun 2010Title: Jurnal Penelitian Politik Vol. 7 No. 1 Tahun 2010 
Type: Book
Author: R. Siti Zuhro, Syarif Hidayat dan Abdul, Malik Gismar, Mardyanto Wahyu Tryatmoko, Kisno Hadi, Rozidateno Putri Hanida, Lili Romli, Sarah Nuraini Siregar, Japanton Sitohang
Publisher: LIPI Press
Year: 2010

Catatan Redaksi

Korupsi adalah sebuah kata dan cerita yang tidak pernah habis dibicarakan orang, khususnya bagi bangsa Indonesia. Korupsi di negeri ini bagaikan sesuatu yang sudah terlanjur melekat dan tumbuh subur, mulai dari pungutan liar yang terjadi di jalan-jalan sampai di kantor-kantor instansi pemerintah, maupun “main mata” antara oknum-oknum serta penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat pemerintah. Semuanya, yang celaka, bukan lagi dianggap sebagai perilaku menyimpang namun sudah dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

Memang korupsi bukan hanya perkara menilap uang dari brankas, namun dapat berupa pula menggelapkan uang kantor, menyalahgunakan jabatan untuk menerima uang suap, me-mark-up nilai suatu proyek, melainkan juga dapat berupa praktik “melegalisasi” biaya-biaya siluman, menawarkan biaya-biaya tidak resmi, sampai menerima uang suap untuk mengesahkan undang-undang yang merugikan rakyat.

Data yang dihimpun dari berbagai sumber badan memperlihatkan bahwa setelah era reformasi, posisi Indonesia di deretan atas negara-negara paling korup di dunia, nyaris tidak bergeser. Hal mana mengidikasikan bahwa belum banyak perubahan dalam pemberantasan korupsi selama kurun waktu 12 tahun terakhir ini. Praktik korupsi tidak saja berlangsung di kalangan lembaga pemerintahan, tetapi juga di DPR/DPRD dan bahkan lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kehakiman, dan kejaksaan, serta korupsi semenjak era otonomi daerah bahkan juga kian menjamur bukan hanya di pusat namun semakin “terdesentralisasi” ke daerah.

Pemimpin negeri ini tak pelak menghadapi tantangan tidak kecil menyusul mencuatnya beberapa kasus korupsi yang menyita perhatian publik belakangan, yang melibatkan sejumlah oknum dan petinggi di instansi-instansi yang mestinya berdiri di garda terdepan penegakan hukum. Sejumlah hal tersebut menimbulkan pertanyaan publik mengenai seberapa serius upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi.

Korupsi bak parasit yang telah menyebabkan bangsa ini terpuruk. Rezim berganti rezim pasca Soeharto, tapi belum ada satupun yang sukses memberangus korupsi. Bahkan, belakangan prakteknya sudah kian kronis yang menjangkiti hampir di segala lapisan masyarakat dan golongan. Kita sadar sepenuhnya betapa korupsi merupakan persoalan berat di negeri ini, ibarat penyakit, stadiumnya sudah sangat kronis dan prakteknya sudah demikian membudaya dan mengakar dalam kehidupan masyarakat kita. membenamkan diri dalam korupsi bagaikan dipandang lumrah. Banyak yang melakukan hal serupa. Adalagi yang beralasan, mereka korupsi lantaran dipaksa oleh keadaan yakni gaji kecil yang tidak mencukupi untuk hidup layak. Namun, terungkapnya kasus pegawai pajak Gayus Tambunan membuktikan bahwa persoalan bukan itu, karena justru pegawai yang sudah bergaji tinggi ternyata “merendahkan” dirinya sendiri dengan tetap melakukan korupsi.

Ini memang amat merisaukan kita. Akibat dari praktek korupsi, banyak sekali kerugian yang muncul. Bukan saja banyaknya dana menguap tak masuk kas negara yang sebenarnya berguna bagi biaya pembangunan dan anggaran yang bisa menyejahterakan rakyat banyak. Pada saat yang sama, korupsi telah menurunkan wibawa pemerintah dan pejabat, baik di tingkat lebih bawah, maupun di mata masyarakat. Birokrasipun kehilangan kepercayaan. Pemerintah yang bersih jujur, dan transparanpun menjadi sesuatu yang sulit bisa dicapai.

Salah satu upaya yang paling sering diketengahkan dalam rangka pemberantasan korupsi di pusat dan daerah ialah bagaimana menciptakan good  governance. Benar bahwa gagasan good governance itu sendiri merupakan bagian dari arus globalisasi pembangunan ekonomi dalam bingkai sistem kapitalisme, yang menuntut negara-negara dunia ketiga untuk semakin membuka dalam kerangka liberalisasi politik dan ekonomi. Agenda good governance lahir dalam kerangka liberalisasi, di mana pertama kali dikemukakan oleh Bank Dunia pada tahun 1989, seusainya perang dingin. Kendati diakui bahwa agenda good governance membawa sejumlah “dampak” –seperti lahirnya demokrasi eksklusioner yang justru mengarah pada lenyapnya demokrasi, dan maraknya liberalisasi ekonomi– tidak bisa dipungkiri adanya efek baik dari agenda good governance, seperti dalam jangka jangka pendek akan bisa kita rasakan manfaatnya dalam hal seperti pemberantasan korupsi, penegakan pemerintahan yang bersih, adanya desentralisasi, dan tegaknya supremasi hukum. Tanpa harus menjiplak mentah-mentah konsep Bank Dunia, konsepsi good governance setidaknya merupakan kontrol bagi aparatur negara dalam hal aturan main dan tata cara hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Mengingat pentingnya permasalahan di atas maka Jurnal Penelitian Politik kali ini hadir dengan mengangkat tema tentang “Good Governance dan Korupsi”. Kami menyajikan sejumlah tulisan yang terkait dengan tema tersebut. Dalam artikel “Good Governance dan Reformasi Birokrasi di Indonesia, R. Siti Zuhro memperlihatkan bahwa selama periode 1999-2010 di satu sisi Indonesia bergerak ke sistem politik demokrasi, di sisi lain masih berjuang melawan warisan patrimonialisme rezim Orde Baru. Harapan terjadinya pembangunan yang simultan antara reformasi birokrasi dan demokratisasi masih menghadapi tantangan berat. Padahal, reformasi birokrasi bisa dilakukan, baik secara internal, maupun eksternal. Faktor-faktor internal meliputi reorientasi kekuasaan yang prorakyat, memiliki komitmen, mampu menciptakan new image, rasionalisasi, peningkatan kualitas SDM, dan payung hukum yang jelas, tegas serta mengikat. Sedangkan faktor-faktor eksternal meliputi komitmen atas keteladanan elite (perlu keteladanan elite) dan pengawasan oleh rakyat. 

Sementara itu, Syarif Hidayat dan Abdul Malik Gismar dalam artikel tentang “Good Governance Vs Shadow State dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah” memperlihatkan bahwa birokrasi di Indonesia masih terbelenggu oleh kinerja politik. Di antara belenggu politik yang ditengarai telah ambil bagian dalam “menyandera” birokrasi tersebut adalah praktik shadow state. Praktik Shadow State itu sendiri hadir, tumbuh dan berkembang tatkala terjadi pelapukan fungsi pada institusi pemerintah formal. Muncullah berbagai bentuk dari praktik informal economy, antara lain:  manipulasi kebijakan publik untuk kepentingan pengusaha; transaksi “bawah tangan” antara penguasa dan pengusaha dalam tender proyek-proyek pemerintah, dan pemaksaan swastanisasi aset-aset negara. Kepala daerah terpilih (gubernur) pada khususnya menghadapi banyak kesulitan dalam melaksanakan otoritas formal yang dimiliki karena berhadapan dengan “kekuatan informal” yang berada di luar institusi formal pemerintahan daerah (shadow state).  Di antara aktor yang cukup dominan dalam praktik shadow state tersebut adalah individu-individu dan/atau institusi  yang telah berperan sebagai sponsor dana dan sponsor politik bagi pasangan  Gubernur-Wakil Gubernur pada saat Pilkada berlangsung.

Mardyanto Wahyu Tryatmoko dalam tulisannya berjudul “Pemekaran Daerah dan PersoalanGovernability Lokal di Indonesia” melihat bahwa Kebijakan pemekaran daerah di Indonesia pada kenyataannya menimbulkan banyak kelemahan yang mengarah pada persoalan governability di tingkat lokal. Persoalangovernability di tingkat lokal disebabkan oleh beberapa kesalahan kebijakan pemekaran daerah di Indonesia. Dalam rangka mengatasi persoalan governability sebagai dampak pemekaran daerah di Indonesia, ada beberapa hal yang perlu dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun berbagai institusi lokal, pemerintah harus merumuskan kembali konsep territorial reform di Indonesia. Selain itu, baik pemerintah pusat maupun daerah perlu melakukan evaluasi pemekaran daerah secara lebih komprehensif mencakup strategi dasar, faktor pendorong, proses pembentukan, kesiapan daerah, dan hasilnya. Dan akhirnya, penguatan kapasitas daerah melalui peningkatan asistensi bagi daerah baru dan kerjasama antar daerah perlu segera diwujudkan. 

Selanjutnya dalam artikel berjudul “Korupsi Birokrasi Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah”, Kisno Hadi menulis bahwa lembaga birokrasi sebagai organ negara yang menangani sektor pelayanan publik ditengarai banyak pihak menjadi sarang korupsi. Celakanya, korupsi yang dulu berada di pusat, sekarang dengan adanya kebijakan desentralisasi politik dan ekonomi ke daerah ternyata korupsi juga ikut terdesentralisasi.Korupsi dalam tubuh birokrasi pelayanan publik ini hanya dapat diminimalisir bila ada pemahaman secara holistik dan komprehensif terhadap dimensi dan jaringan korupsi itu sendiri, ada pemahaman terhadap latar belakang terjadinya korupsi, ada pemahaman dan pendeteksian terhadap areal di mana korupsi dalam tubuh birokrasi pelayanan publik tersebut hadir, serta mesti ada format kebijakan yang tepat dan dengan didukung oleh kebijakan hukum dan aparat penegak hukum yang tangguh. Tanpa itu, pemberantasan atau paling tidak meminimalisir tindak korupsi di dalam tubuh birokrasi pelayanan publik akan sulit dilakukan. Bila itu terjadi berlarut-larut, publik niscaya tidak akan percaya terhadap layanan-layanan yang diberikan oleh birokrasi.

Sejalan hal di atas dan dengan mengambil sebuah kasus, Rozidateno Putri Hanida dalam tulisannya berjudul “Dinamika Penyusunan Anggaran Daerah: Kasus Proses Penetapan Program dan Alokasi Anggaran Belanja Daerah Di Kabupaten Sleman”, menyatakan bahwa aktor-aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan anggaran dalam perspektif politik anggaran masih senantiasa memperjuangkan kepentingan sendiri dengan berbagai strategi. Di dalam penyusunan APBD terjadi proses sharing dan bargaining kepentingan antar-aktor, di mana legislatif yang seharusnya bisa mengontrol masih belum berperan, di antaranya akibat masih banyak anggota legislatif yang tidak mengerti apa yang menjadi prioritas pembangunan setempat. Landasan prioritas oleh legislatif masih tersekat-sekat pada pemahaman pemenuhan kebutuhan para konstituen.

Redaksi berharap hadirnya Jurnal Penelitian Politik ini bisa disambut baik oleh para pembaca Akhir kata kami ucapkan selamat membaca. REDAKSI