Jakarta-Humas BRIN. “Ide awal lahirnya konsep good governance, berasal dari diskursus para akademisi di kawasan Afrika. Hal ini terkait upaya untuk merancang konsep pembangunan, sehingga menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, inklusif, dan demokratis,” jelas Syarif Hidayat peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), juga sebagai anggota Komisi Ilmu Sosial, Akademi Ilmu Pengetahuan (KIS-AIPI). Materi yang dipaparkan, berjudul Menimbang Ulang Relevansi Konsep Good Governance, pada Kuliah Inaugurasi Anggota AIPI 2022, di Jakarta, Sabtu (09/04).
Tahun 1989, World Bank melaporkan bahwa kurang baiknya tata kelola pemerintahan atau lack of good governance, merupakan penyebab utama dari lambatnya pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan Afrika. Pencitraan buruk tersebut, memicu para akademisi untuk mendiskusikan konsep tata kelola pembangunan, dan pemerintahan yang lebih relevan.
Diskursus yang berkembang di kalangan para intelektual Afrika, berfokus pada pentingnya relasi negara dan masyarakat atau state-society relations. “Menjamin terwujudnya tiga tujuan utama, yaitu: tata kelola pembangunan ekonomi yang sehat. Kehidupan demokratis, dan dihargainya hak setiap warga negara, serta inklusifitas sosial,” beber Syarif.
Namun demikian pada perkembangannya, papar Syarif, terminologi good governance tersebut telah diadopsi oleh lembaga bisnis internasional, terutama World Bank. Digunakan sebagai label baru untuk persyaratan dalam menyalurkan bantuan, dan atau pinjamin kepada negara berkembang. “Skema pemberian bantuan dengan persyaratan good governance ini, dikenal dengan selectivity,” ucapnya.
Di sinilah, titik awal terjadinya penyimpangan konsep good governance dari ide dasarnya, sebagaimana yang telah diinisiasi oleh para akademisi Afrika. Dalam perjalanannya, terjadi pembiasan esensi atau substansi utama, dari konsep good governance. Mereka menganggap kelemahan mendasar dari konsep good governance, tidak operasional. Tidak mampu menjelaskan apa yang esensial dan tidak esensial.
Dijelaskan Syarif, rangkaian peristiwa tersebut, mengindikasikan tentang urgensi konsep, maupun implementasi kebijakan good governance. Selanjutnya, dilakukan aktualisasi pada konteks kekinian. Bertumpu pada sejumlah kelemahan mendasar dari konsep, dan praktik good governance.
“Mengikuti tradisi the new way thinking of governance, saya mengajukan konsep proper governance. Artinya, suatu tata kelola pemerintahan yang tepat atau pantas. Sesuai dengan karakteristik dari state dan society, dari masing-masing komunitas negara-bangsa,” tambahnya.
“Secara filosofis, konsep proper governance yang saya gagas ini, diilhami dari keinginan untuk mengembalikan esensi tata kelola pemerintahan, pada akarnya atau fitrohnya,” ungkap Syarif. Konsep dasar governance, sejatinya tidak hanya mengatur tata kelola pemerintah. Mencakup tata kelola interaksi, antara institusi formal yaitu negara, dan masyarakat sebagai sipil atau masyarakat ekonomi.
“Atas dasar pertimbangan teoritis ini, maka konstruksi konsep proper governance yang saya bangun, bertumpu pada empat prinsip dasar, yaitu: Developmental, Democratic, Socially Inclusive, dan Cultural and Historical Context (Local Content),” pungkasnya. (NS)