Jakarta – Humas BRIN. Tujuan utama riset adalah menemukan suatu kebaruan yang dapat menyelesaikan masalah. Namun dalam rangkaian panjang prosesnya terdapat berbagai hambatan. Untuk itu, Pusat Riset Hukum (PRH) Badan dan Inovasi Riset Nasional (BRIN) mengadakan kegiatan diskusi Guest Lecture Series 1 dengan topik bagaimana melakukan penelitian dalam ilmu sosial dan hukum. Kegiatan ini diselenggarakan secara daring pada Selasa (12/7), menghadirkan narasumber dari Nanyang Technological University Singapore (NTU) dengan peserta terdiri dari sivitas peneliti BRIN dan akademisi.
Dalam sambutan pembukanya, Kepala PRH Laely Nurhidayah mengatakan, ”Kita bisa saling belajar bagaimana cara melakukan riset dan membuat proposal yang baik. Caranya dengan berdiskusi bersama antar lintas latar belakang pendidikan serta berbagi dari pengalaman terdahulu dalam melakukan riset ilmu sosial, khususnya di bidang riset hukum.”
Yuti Ariani Fatimah dari NTU memaparkan pengertian riset secara dasar. “Ketika kita tahu apa yang kita lakukan, itu tak bisa disebut riset. Riset adalah menemukan kebaruan dengan prioritas pertama adalah merumuskan pertanyaan riset kita,” paparnya. Ia juga mejelaskan bahwa kita melakukan studi literatur untuk melihat apakah pertanyaan tersebut sudah pernah terjawab. Pastikan proposal riset yang kita susun memiliki kebaruan. Kemudian bagaimana metodologi kita dalam menjawab pertanyaan riset tersebut.
Yuti memberikan penjelasannya bahwa ketika telah menyusun proposal riset kemudian sedang melakukan riset di lapangan, biasanya akan muncul iterasi-iterasi teori yang berbeda dari sebelumnya. Hal itu sudah dipetakan dan mungkin bisa lebih tepat untuk dipakai. “Awalnya kita muncul dengan proses yang sangat linier, ketika di lapangan akan sangat non-linier karena kita terus mengiterasi apakah cocok dengan data-data yang kita miliki,” jelasnya.
Yuti mengatakan, salah satu yang perlu dilakukan dalam menemukan kebaruan adalah melakukan studi literatur. Di antaranya adalah tinjauan sistematis literatur yang sering digunakan untuk menguji hanya satu hipotesis, atau serangkaian hipotesis terkait. Kemudian terdapat meta-analisis yaitu analisis dari data yang sudah ada. Pada tinjauan naratif kita melakukannya dengan membaca literatur kemudian memberikan kode atau label pada poin-poin penting.
Originalitas topik sebenarnya bisa merupakan irisan dari berbagai macam hal. “Dengan data yang sudah ada tetapi kita punya teknik baru yang original. Contohnya dilakukan oleh rekan-rekan kami di group ekologi yang sealu melakukan riset tentang dedaunan, kemudian mencari perlakuan seperti apa yang cocok untuk dedaunan yang sama pada hutan tertentu,” katanya.
Menurut Yuti, ada hal lain yang dapat diperhatikan dalam menjaga originalitas topik. Hal itu yaitu membawa data empiris yang belum pernah dilakukan sebelumnya, membuat sintesis baru, menggunakan material yang sudah dikenal tetapi dengan interpretasi baru, menemukan bukti-bukti baru untuk menyelesaikan isu lama menjadi multidisiplin, dan menggunakan metodologi yang berbeda.
Selain menemukan kebaruan, salah satu hal yang sulit menurutnya adalah menyusun pertanyaan riset. Sebuah pertanyaan penelitian dapat menetapkan batasan untuk membantu kita mengetahui ke mana harus melangkah selanjutnya. Pertanyaan penelitian menentukan data mana yang perlu kita kumpulkan dan metode mana yang akan kita gunakan untuk mengakses dan menganalisis dokumen kita.
“Apa yang membuat manuskrip itu bagus yaitu harus jelas, berguna, dan memiliki pesan menarik. Pengalaman saya sebagai reviewer dalam publikasi jurnal yang terpenting adalah kerangka tulisannya benar, data pendukungnya jelas, dan analisisnya sesuai dengan framework,” pungkasnya.
Terakhir, Yuti berpesan agar berhati-hati dengan tindakan plagiarisme. Dengan kemajuan teknologi informasi, saat ini plagiarisme sangat mudah dideteksi oleh sistem tetapi sebenarnya juga sangat mudah untuk dihindari.
Laely Nurhidayah, Kepala PRH menerangkan bahwa secara umum riset hukum (legal research) dicirikan oleh adanya suatu masalah yang bersifat hukum, yang memerlukan campur tangan peneliti hukum. Hal itu untuk mengetahui hukum yang berlaku sehingga mencapai solusi atas masalah hukum tersebut.
“Dalam melakukan riset hukum kami di PRH biasa menggunakan metode kualitatif. Selain itu juga terdapat metode doktrinal, non-doktrinal, dan komparatif,” terangnya.
Lebih lanjut Laely juga menerangkan bahwa pendekatan non-doktrinal merupakan pendekatan baru dalam mempelajari hukum dalam konteks sosial dan politik yang lebih luas. Caranya dengan menggunakan berbagai metode lain yang diambil dari disiplin ilmu sosial dan humaniora. Manfaat dan relevansi menggunakan disiplin lain seperti sosiologi, ilmu politik, ekonomi, psikologi, sejarah, dan feminisme sebagai bantuan untuk penelitian hukum telah diakui secara luas.
“Penelitian interdisiplin atau sosio-hukum memperluas wacana hukum dalam hal kerangka teoritis dan konseptual yang memandu arah studi dan metodologi penelitian yang spesifik yang mampu menghasilkan bukti empiris untuk menjawab pertanyaan penelitian,” ujarnya.
Sedangkan dalam pendekatan komparatif memiliki relevansi komparasi pengalaman manusia yang terjadi dalam sistem hukum yurisdiksi yang berbeda. “Contohnya bagaimana regulasi penanganan sampah plastik di negara Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Dari hal tersebut kita dapat melihat sisi kelebihan dan kekurangan dari implementasi kedua regulasi di wilayah yurisdiksi berbeda tersebut,” pungkasnya.
Kegiatan dilanjutkan dengan sesi diskusi di mana tampak antusias peserta dalam mengajukan pertanyaan kepada kedua narasumber. (RBA/ed: And)