Jakarta – Humas BRIN. Bagi peneliti, nafas, darah, dan semangatnya adalah menulis dan melahirkan sebuah tulisan. Pernyataan tersebut disampaikan Ahmad Najib Burhani, Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (IPSH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam acara bedah buku, Kamis (14/07). BRIN bekerja sama dengan penerbit Grasindo PT. Gramedia Widiasarana Indonesia membedah buku berjudul “Teknopreneur Aglaonema: mengubah Hobi menjadi Rejeki”. Kegiatan ini berlangsung secara hybrid dengan pusat lokasi pelaksanaan di Cozyfield Emerald Bintaro, Jakarta.
Buku karangan kolaborasi Yuni Sugiarti selaku dosen UIN Jakarta dengan peneliti BRIN, E Oos M. Anwas ini dibedah oleh beberapa pembahas berpengalaman. Mereka adalah Haryono Suyono selaku Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan Indonesia (Menkokesra) ke-9, Supriyatno selaku Kepala Pusat Pembukuan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Euis Sunarti dan Dwi Purwoko selaku Peneliti BRIN, Pudji Mulyono selaku Pakar Pemberdayaan IPB, serta Husni Teja Sukmana dan Dian Arianti pembahas dari Technopreneur kunikita.com.
Yuni Sugiarti yang berprofesi menjadi dosen UIN Jakarta sebagai salah satu penulis mengatakan, kunci memulai usaha yaitu memanfaatkan teknologi, jujur dan berinovasi, serta punya kemampuan berinovasi dan berkolaborasi. Menurutnya, manfaat teknopreneur salah satunya bisa mempunyai usaha sampingan, selain kita bekerja dapat bertransaksi dan fleksibel sesuai potensi dan kesempatan.
Ia berprinspi, bagaimana hobi tidak semata konsumtif saja tapi dapat menghasilkan rezeki. Hal ini berdasarkan pengalaman dan teori peran teknopreneur. Sementara penulis satunya yang juga peneliti BRIN, E Oos M. Anwas mengatakan, “kuncinya bukan hanya modal dan uang, tetapi soft skill, kerja keras, disiplin, jujur, dan bisa mengubah hobi menjadi rejeki”.
Oos memberikan penjelasan bahwa Pengusaha atau UKM yang berhasil adalah pengusaha atau UKM yang pernah gagal dan bisa belajar dari kegagalan. Ia mengisahkan pengalamannya sebagai peneliti, tentu saja ketika menemukan kegagalan, maka ia harus menganalisis kegagalan itu. Bisa jadi karena keteledoran, serta kurang inovasi atau perlu ada sentuhan dari pihak lain supaya ada nilai plusnya. Prosesnya dengan meninjau penelitian terdahulu, dalam membangun “state of the art” kemudian dicari celah mana yang belum dilakukan oleh orang lain. “Prinsip ini sama dengan bisnis! Jika bisnis kita ada nilai tambah yang bermanfaat dan menaikkan produk dan jasa kita, maka akan meningkatkan nilai lebih usaha kita,” ujarnya.
Sementara Yuni mengatakan, sikap dasar seorang entrepreneur harus tahan uji, siap mendapat risiko, visinya kuat, berkomitmen, dan bersikap positif. Menurutnya, berdagang adalah cara memperoleh rezeki yang dianjurkan oleh Rasulullah. Ia menceritakan sabda Rasul, “hendaklah kalian berdagang karena berdagang merupakan sembilan dari sepuluh pintu rezeki! Jadi suatu kegagalan harus dijadikan sebagai semangat, sehingga kitab isa lebih berinovasi lagi”.
Lebih lanjut ia mengungkapkan, kelebihan teknopreneur yaitu bisa bekerja kapan dan di mana saja. “Jadi kita yang mengatur sendiri. Hal ini berbeda saat kita jadi pegawai,” ujarnya. Untuk itu, ia bersama Oos menulis buku tersebut untuk memberikan inspirasi ke semua orang. Apakah anda tidak bosan berangkat ke kantor subuh dan pulang malam setiap hari? Bagaimana kita jadi bos dengan diri sendiri? Pertanyaan -pertanyaan tersebut menurutnya bisa menjadi salah satu kelebihan selaku teknopreneur. Sebab, menjalankan usaha mengunakan teknologi bisa dilakukan kapan dan di mana saja. (ANS/ed: And)