Jakarta – Humas BRIN. Pekanbaru adalah ibukota dan menjadi kota terbesar di wilayah Provinsi Riau. Wilayah ini memiliki kaitan kuat dengan perjalanan sejarah nusantara. “Pekan Baru merupakan wilayah yang menjadi titik penting di sumatera. Dahulu, jalur perdagangan besar melintasi wilayah ini yaitu melalui jalur Sungai Rokan, Siak, Indra Giri, dan Kampar”. Atas dasar itu, Bayu Made Winata memberikan alasannya dalam kegiatan Forum Diskusi Budaya pada seri ke-42, Senin (1/08). Bayu tampil selaku pembicara untuk membedah buku karangannya yang berjudul ‘Pakan Baroe: Nadi Sumatera yang Terlupakan 1800 – 1950’.
Kegiatan Bedah Buku karangan bayu ini digelar oleh Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) dan dibuka langsung oleh Kepala PRMB, Lilis Mulyani. Diskusi pembahasan buku ini menghadirkan Editor buku tersebut, Syahyarwan Zam, yang saat ini bekerja sebagai Pustakawan di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Pekanbaru. Pembahasan makin interaktif dengan menghadirkan pembahas Kresno Brahmantyo, selaku Sejarahwan Publik Universitas Indonesia.
Dalam paparannya, Bayu mengungkap alasan mengapa buku karangannya tersebut berjudul ‘Nadi sumatera yang Terlupakan’. Ia mengatakan, Pekanbaru, pada zaman itu merupakan kota pelabuhan penting. “Mengapa nadi? Karena di wilayah tersebut terletak satu rangkaian jalur pedagangan dari empat sungai tadi,” ungkapnya. Jalur perdagangan penting ini makanya diistilahkan dengan nama nadi, istilah lain sebagai titik penghubung menuju semenanjung Malaya dan wilayah-wilayah lainnya.
Di dalam penjelasan yang disampaikan, Bayu lebih banyak mengungkap cikal bakal Pekanbaru yang dahulunya adalah kerajaan, sebuah kota yang berada di tepian Sungai Siak. Jalur perdagangan disiapkan oleh Sultan Siak pada masa itu, dan dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan membuat jalur darat, jaringan telekomunikasi, dan sebagainya. Hingga pada akhirnya pengembangannya dilanjutkan dengan penjajahan pemerintah Jepang.
Melalui pesan infografisnya, Bayu menyajikan peta perdagangan di Pekanbaru dari tahun 1800 sampai dengan 1950. Penulisannya bersumber dari proses risetnya mengumpulkan data-data sejarah terkait kota tersebut. “Saya ingin mengungkap bahwa Pekanbaru berkontribusi dalam catatan sejarah penting nusantara, yang saat ini justru tidak diketahui oleh masyarakatnya sendiri,” jelas Bayu.
Sedangkan Syahyarwan memberikan penjelasan terkait proses penerbitan buku, terlebih pada penyusunan narasi penulisan. Ia juga menceritakan terkait pemberian nama Pekanbaru di dalam judul buku tersebut menjadi Pakan Baroe. Nama tersebut diambil dari narasi Belanda.
Sementara Kresno selaku pembahas mengatakan buku tersebut sangat penting untuk memberikan pembelajaran sejarah kepada generasi muda. Ia memberikan apresiasi kepada bayu sebab dengan terbitnya buku tersebut bisa menjadi referensi para penulis buku lainnya untuk semakin melengkapi sejarah perkembangan Pekanbaru. “Sejarah lokal akan menjadi semakin banyak produksinya. Ini sangat baik untuk Pendidikan sejarah,” tegasnya.
Ia berpendapat, buku tersebut lebih tepat sebagai buku bunga rampai karena proses penyusunannya diperoleh dari berbagai sumber. “Buku ini lebih banyak mengisahkan tentang kaum elit seperti raja, pemerintah Hindia Belanda, lalu Jepang. Namun masih kurang dalam komposisi bentuk Pekanbaru. Saya tidak menemukan bagaimana reaksi sosial penduduk, juga aturan – aturan berkenaan dengan perkebunan,” ujar Kresno.
Kresno juga menilai di dalam buku tersebut tidak dibahas bagaimana multi etnik masyarakatnya, serta bagaimana penyikapan masyarakat terhadap pemungutan pajak contohnya. Sebab menurutnya, pemungutan pajak punya pengaruh tinggi terhadap perkembangan sejarah karena akan menimbulkan konflik, penderitaan, keberatan, dan sebagainya.
Sementara, menurut pendapat peserta diskusi, Pekanbru merupakan kota yang tidak lepas dari lintas bisnis dengan pemanfaatan Sungai Siak sebagai tempat transaksi sejak dahulu kala. Bayu membenarkan, bahwa karena itu terhubung dengan banyaknya suku di kota minang. Sebab, dari literatur yang ada Pekanbaru erat hubungannya dengan Minangkabau. Ini terhubung karena jalur lintas perdagangan dari pantai barat ke timur.
Pekanbaru menjadi kota jasa menyebabkan banyak aktivitas terutama di sektor perdagangan. Bahkan Pekanbaru menjadi kota tujuan berdagang bagi masyarakat dari daerah pedalaman. Untuk itu, selaku pembahas, Kresno berharap, dengan membaca buku tersebut, akan memberi dampak para aliran sejarah Pekanbaru untuk menulis. “Setiap bab dalam buku ini bisa menjadi satu proses penelitian sendiri. Otomatis, akan semakin banyak pengembangan riset dan pendataan sejarahnya yang terungkap,” ucapnya. (And)