Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kembali menyelenggarakan kegiatan diskusi yang membahas tentang budaya pada aspek feminimisme. Kegiatan ini dikemas dalam Forum Diskusi Budaya Seri 43, Senin (29/08). Untuk seri kali ini membahas kajian buku yang bertemakan “Feminimisme Kritis: Gender dan Kapitalisme dalam Pemikiran Nancy Fraser”.
Plh. Kepala PRMB, Halimatusa’diah mengatakan, perspektif feminimisme di Indonesia saat ini belum banyak beredar di luar, artinya masih dalam ruang lingkup yang terbatas. Baginya, kalau bicara feminimisme, maka isu ini memerlukan pengetahuan teoritis dan aktivitas akademis. Gerakan ini menekankan pada isu-isu nyata dalam ketidakadilan politik dan ketimpangan gender. Tetapi yang menyatukan keduanya adalah poluntarisme di antara para akademisi dan aktivis gerakan perempuan. Mereka menemukan tantangan bersama baik kultur patriarki di Indonesia dan fundamental agama di dalam masyarakat.
Peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN, Amin Mudzakkir, mengupasnya dengan menyebutkan, “buku ini lahir dari suatu proses pendidikan atau riset di sekolah filsafat. Rasanya akan beda dengan karya-karya yang lahir dari studi gender”. Menurutnya, tema tersebut baru diperoleh pada tahun ketiga. Awalnya, buku tersebut mengupas tentang latar belakang Nancy Fraser. Hal tersebut sebagai bagian dari suatu mashab intelektual yang disebut sebagai teori kritikal teori yang dipraktikkan di sekolah.
Amin berpendapat, Fraser meneruskan tradisi Habermars bahkan melampauinya. Baginya, jika ingin mengkaji femenimisme Fraser maka harus mengerti Habermars terkait filsafatnya. Ini sebagai isyarat tersendiri, karena harus mengerti runtutannya, atau dikenal dengan istilah genelogis.
Untuk mengetahui genelogis harus melakukan riset hingga akar-akarnya. Begitu juga dengan Fraser. Varian feminisme banyak sekali alirannya, sisi sejarah dan paradigmanya juga bermacam-macam, ada yang liberal, sosialis, dan lain-lain. Dari sudut pandangnya, Fraser merupakan bagian atau aktivis dari sayap kiri yang muncul di tahun 60-an di sebuah kampus New York. “Masih sangat sedikit wanita yang mengajar filsafat, karena ilmu tersebut masih didominasi oleh laki-laki,” ucap Amin.
Maka Amin mengungkapkan kenapa mengupas pembahasan tentang Fraser. Salah satu kontribusi Fraser adalah karena mampu memberikan diskusi baru ajaran kapitalisme. Di mana struktur kapitalisme sebagai bangunan dilihatnya secara atas bawah, seperti ekonomi sebagai infrastrukturnya dan budaya sebagai strukturnya. Sedangkan Fraser berbeda karena selama ini hanya melihat kapitalisme pada struktur dari depan dan belakangnya. Fraser melihat latar depannya seperti modal, sedangkan aspek reproduktif atau sisi balik di belakangnya jarang dibahas.
Aspek reproduktif inilah yang dikaji lebih di dalam buku ini. Amin menceritakan, dalam cara mengungkap seperti halnya tentang keadilan dan ruang publik. Bagaimana perempuan yang menghuni ruang belakang di eksploitasi oleh kapitalisme? Akan tetapi tidak hanya selesai dengan itu, Fraser melihat ada potensi emansipatif, dimana dimensi depan tidak bisa bekerja tanpa dimensi belakang.
Dosen Universitas Syiah Kuala Aceh, Suraiya Kamaruzzaman menjelaskan, buku tersebut berhasil menyajikan sintesa dan elaborasi pemikiran dari Fraser yang demikian kompleks. Ini menjadi mudah dipahami oleh kelompok masyarakat. Menurutnya, filsafat cukup berat untuk dipahami, tetapi buku tersebut memudahkan untuk memahami sesuatu yang sangat rumit dengan penyajian secara runtut dan sederhana.
Lebih lanjut, buku ini mengurai dari feminim kritis berdimensi luas untuk kepentingan sosial. Hal itu bertolak pandang dari feminim sosialis maksis lalu meminjam filsafat post modernisme Host serta mengembangkan konsep gerak ganda polayi. Ini menawarkan konsep-konsep kunci keadilan seperti keadilan representasi, ruang publik tandingan, pengawasan universal, dan pembagian peran.
Konsep tersebut dapat diterapkan di Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim. Pemikiran dari Amin ini cukup berani karena membawa suatu pemikiran di mana eksosistem masyarakat aproiri yang ditawarkan pada kontekstual yang ada. Hal itu selaras dengan Warga Indonesia yang mempunyai khas multi kultural, multi agama, dan multi dimensi, dengan populasi Islam terbanyak di dunia. (suhe/ ed: And)