Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas BRIN menyelenggarakan webinar seri ke-7 dengan tema Merangkai Kebhinekaan melalui Pemahaman Bahasa, Sastra, dan Budaya di Nusantara. Kegiatan tersebut diselenggarakan pada Rabu (19/10) dengan menghadirkan narasumber  Prof. Sarwit Sarwono, dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Bengkulu, Elmansyah dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak,  DR. Fatmahwati Adnan Peneliti BRIN, serta moderator Budi Agung Sudarman Peneliti Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas BRIN.

Dalam sambutan pembukaan Dr. Herry Jogaswara selaku Kepala Organisasi Riset  Arkeologi Bahasa dan Sastra menyampaikan bahwa judul webinar mempunyai nilai sangat penting dan strategis mengingat Indonesia yang bersifat majemuk. Dalam webinar menyampaikan keberagaman bahasa, sastra, budaya, etnik, perilaku masyarakat merupakan modal, bukan kendala ataupun tantangan untuk dikelola dalam satu kekuatan bangsa. Konflik punya dimensi kebudayaan, salah satu  cara pandang pada nilai-nilai kebudayaan yang memiliki fungsi budaya yang hidup berbagai bahasa yang digunakan masyarakat. Webinar ini sebagai ajang edukasi publik bagaimana peran bahasa dan budaya dapat berfungsi untuk mempersatukan masyarakat yang begitu banyak yang ada di Indonesia.

Selanjutnya, Ade Mulyanah Kepala Pusat Riset Bahasa, Sastra dan Komunitas BRIN, menyampaikan ucapan terima kasih kepada narasumber, panitia, budayawan, mahasiswa, para peserta webinar dan atas terselenggaranya kegiatan webinar. Webinar diharapkan mampu memberikan informasi tentang riset yang dilakukan para periset dan mendapat ruang untuk berkolaborasi dengan semua pihak baik internal maupun eksternal BRIN.

Ade menginformasikan bahwa di Indonesia dengan jumlah pulau dan bahasa  yang begitu banyak yaitu 718 menurut badan bahasa, itu merupakan fakta bahwa Indonesia kaya akan keunikan budaya yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Banyaknya keunikan maka diperlukan pemahaman budaya, komunikasi antar budaya merupakan proses komunikasi orang yang berbeda baik  ras, etnik, sosial, ekonomi, atau gabungan. Komunikasi antar budaya berkembang dengan perkembangan teknologi memungkinkan ada friksi lintas budaya untuk itu diperlukan pemahaman budaya.

Budaya merupakan cara pandang hidup yang berkembang dan dianut  dari generasi yang satu ke generasi lain memiliki perbedaan budaya yang dapat membentuk bingkai keragaman dalam kategori bhinneka tunggal ika. Mengacu pada teori Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi antar budaya sebagai human flow across national boundaries, sedang Fred E. Jandt mengartikan komunikasi antar budaya sebagai interaksi tatap muka di antara orang-orang yang berbeda budayanya. Mengacu teori tersebut,  komunikasi antar budaya lintas budaya memiliki fungsi penting dalam menjalin hubungan baik nasional, bilateral, maupun multilateral. Komunikasi berfungsi untuk mengurangi ketidakpastian baik antar suku, etnis, bangsa yang tidak memiliki persamaan dalam pemahaman lintas budaya. Seseorang yang menggunakan keselarasan maka akan berhasil komunikasi dari aspek sosial budaya ataupun statusnya.

Ade menyampaikan bahwa tujuan webinar untuk mengoptimalkan betapa kaya Indonesia akan budaya dan bahasa yang diaplikasi dalam keseharian untuk mengurangi kesalahpahaman dan pada tatanan global juga bisa tangani. Ade juga berharap kegiatan ini dapat menghasilkan karya besar, karena salah satu fungsi BRIN yaitu produksi ilmu pengetahuan, bisa mengeluarkan bentuk model pemahaman lintas budaya yang ideal serta memberikan manfaat dan kolaborasi internal dan eksternal BRIN.

Paparan dilanjutkan oleh Prof. Sarwit Sarwono yang membahas tentang ritus peralihan bekayek tradisi lintas etnik di Sumatera Selatan. Ritus peralihan yang disebut kayek atau kayik atau kayiak difokuskan pada etnik Serawai dan Pasemah di Sumatera Selatan dan Bengkulu. Kata kayek atau kayik dalam bahasa melayu dialek Pasemah dan Kayiak bahasa melayu dialek Serawai berakar dari kata ayek atau ayik atau ayiak secara harfiah berarti “air” atau “sungai”.

Secara kultural kayek dapat dimaknai sebagai mempersiapkan anak perempuan (7-9 tahun) memasuki fase “dewasa” secara biologis dan sosial melalui tahapan-tahapan aktivitas pokok yaitu mandi (bersuci), berhias, menari, dan merajung serta menikmati jamuan bersama undangan. Kayek adalah ritus peralihan dari dunia anak-anak ke dunia remaja/dewasa, dari dunia domestik ke dunia sosial, belum dewasa secara biologis ke dewasa secara biologis, dari belum dewasa secara sosial ke dewasa secara sosial.

Kemudian paparan Elmansyah, dari IAIN Pontianak yang membahas Lingkar Tioghoa Dayak Melayu kontruksi Agama dan Budaya Masyarakat Kalimantan Barat. Kalimantan Barat dikenal dengan keberaganman budaya, namun wilayah juga memiliki keberagaman suku yang tercermin dalam jumlah penduduk yang terdiri dari suku Dayak, Melayu, Sambas, Tionghoa, Jawa, Kendayan dan lainnya.

Paparan ke-tiga disampaikan oleh Dr. Fatmahwati Adnan yang membahas kebersamaan dalam keberagaman etnik Akit, Melayu, dan Tionghoa di Kepulauan Meranti. Kabupaten Kepulauan Meranti terletak pada bagian pesisir timur Pulau Sumatera yang menghadap Selat Malaka, merupakan daerah segitiga pertumbuhan ekonomi (growth triangle) Indonesia-Malaysia-Singapura. Fatmah menyampaikan bahwa etnis terbesar di kepulau Merati yaitu Akit, Melayu, dan Tionghoa dan dalam kehidupan lintas budaya bahasa yang digunakan adalah bahasa melayu karena memiliki sistem yang sederhana dan mudah dipahami. Fatmah menyampaikan bahwa kunci kebersamaan etnik Akit, Melayu, dan Tionghoa dalam komunikasi lintas budaya berlangsung secara harmonis selama bertahun-tahun karena adanya prinsip kerja sama yang dijalankan dengan baik, saling menghormati, dan berperilaku jujur. (SUR/ed: SGD)