Jakarta – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Kewilayahan (PRW) menyelenggarakan webinar pada Jumat (18/11). Kegiatan ini membahas R20 (Religion of Twenty) dengan mengajak para pemimpin agama dan sekte secara langsung untuk merefleksikan diri dengan menawarkan sharing konsensus nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan universal. Demikian disampaikan Kepala Pusat Riset Kewilayahan, Fadjar Ibnu Thufail, saat memberikan sambutan pada webinar series “R20 dan Tantangan Tata Dunia Baru”. Ia juga menjelaskan, R20 digagas oleh Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Tsaquf.
Fadjar mengisahkan, PRW sejak tahun 2012 sudah melakukan riset tentang keagamaan. Saat itu, pusat ini mempunyai tugas memahami masyarakat yang ada di luar Indonesia. PRW juga mengkaji keagamaan dalam melihat proses yang terjadi di tempat lain dan berimplikasi pada proses-proses yang ada di negara lain. Agama menjadi aspek penting di dunia global, di mana agama sifatnya tidak lagi lokal, hal ini dalam arti positif.
Ahmad Suaedy, Visiting Reseacher PRW-BRIN dan Ketua Organizing Committe R20 memaparkan, G20 Religious Forum atau R20 adalah sebuah forum para pemimpin agama dan sekte di dunia, yang tidak hanya terbatas pada delegasi negara-negara G20 (ada delegasi 32 negara yang hadir). R20 dihadiri oleh 470 pemimpin agama dan sekte, 170 di antaranya dari luar negeri. R20 bukan hanya melahirkan komunike yang terdiri dari 11 item melainkan suatu kesepakatan gerakan bersama. Forum ini telah masuk menjadi official angagement G20 yang berarti akan berlanjut. Telah disepekati bahwa 2023 akan diselenggarakan di India sesuai dengan urutan presidensi G20.
Suaedy mengungkapkan R20 pertama kali digagas oleh Gus Yahya, dikemukakan ketika ketemu Presiden Jokowi setelah terpilih menjadi Ketua Umum PBNU sekira bulan Februari 2022. Dan topik ini telah dipergulatkan oleh Gus Yahya dalam berbagai konferensi internasional, setidaknya sejak 2017. Usulan ini dilatari oleh kedudukan presiden sebagai presidensi sejak Desember 2021. Menurut Gus Yahya, situasi dunia kini menuntut peran agama secara langsung dalam solusi problem global.
Namun hal itu harus berangkat dari problem di dalam agama itu sendiri, yang juga global. Agama hanya dilibatkan, diminta, dan disetir oleh pihak lain di luar agama untuk melegitimasi pemikiran dan usulan serta program dari pihak lain. Sedangkan problem di dalam agama tersebut tidak pernah tersentuh.
Lebih lanjut, Ahmad Suaedy, mengatakan problem yang mendasar di dalam agama-agama adalah konsep dasar atau doktrin tentang yang lain di luar masing-masing agama. Maka diperlukan keberanian para pemimpin agama untuk melakukan transformasi atau tafsir ulang terhadap konsep-konsep dasar dan doktrin tersebut untuk menghilangkan sekat dan bahaya laten.
Suaedy mengatakan, hasil dari komunike antara lain: 1). tekad bersama untuk merespon problem global dengan melakukan transformasi terhadap peran agama (inklusif) dan membangun sistem yang benar-benar adil dan setara; 2). berinisiatif menjembatani berbagai kesenjangan dan konflik di berbagai sudut dunia dan melarang penggunaan identitas sebagai senjata dalam politik; dan 3). menyuntikkan moral dan spiritual yang berwawasan transformatif terhadap sistem politik sosial dan ekonomi di lingkungannya masing-masing dan dalam sistem global.
Di dalam tata dunia baru, diharapkan adanya transformasi agama dari dalam tentang doktrin ketidaksetaraan dan menghapuskannya dalam tatanan publik. Terbangun juga konsensus baru di antara agama dan sekte tentang nilai-nilai bersama dengan saling menghormati kearifan dan kekhasan masing-masing untuk suatu tatanan publik dan global yang adil dan setara. Hl itu serta menciptakan tatanan sosial, ekonomi, dan politik, dimana agama menjadi bagian dari ranah publik dan kebijakan publik. (suhe/ ed: And)