Jakarta – Humas BRIN. Dalam suatu kesempatan di daerah Kalimantan Barat, ada sebuah desa di mana terdapat kebun durian. Tanaman tersebut baru berbuah dan banyak yang berjatuhan, salah seorang warga mengatakan bahwa hal ini karena adanya perubahan iklim. Di daerah Demak ada beberapa Desa yang tenggelam, kasus ini juga dikatakan oleh warga setempat dikarenakan adanya perubahan iklim.
Hal tersebut disampaikan Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa dan Sastra (OR Arbastra/OR ABS) BRIN, Herry Jogaswara dalam sambutannya pada kegiatan webinar “Peran Bahasa dan Sastra dalam Kampanye Perubahan Iklim” di Jakarta, Selasa (22/11).
Herry berpendapat, sebetulnya prinsip konsep perubahan iklim itu sendiri sesuatu yang memang debattable (layak diperdebatkan), masih ada banyak diskusi. Tetapi kita bisa terlibat dalam diskusi tersebut, dalam konteks yang berbeda hal ini menjadi sains untuk diperdebatkan itu. Di mana saat ini sudah tidak lagi climate reality/climate justice (realitas iklim/keadilan iklim) tetapi sudah menjadi climate action (aksi iklim) itu juga yang menjadi penting.
Bicara perubahan iklim ini sangat panjang, dimana sejak di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) riset sangat panjang tentang perubahan iklim, bahkan para peneliti menyiapkan hal-hal yang ekstrem perubahan iklim atau riset perubahan iklim dengan kampanye di radio, televisi, dan sebagainya. Tetapi dengan cara pandang lebih melihat perspektif ekologi manusia hingga pertemuan ini menjadi penting menawarkan suatu hal yang lain. Bahasa dan sastra melihat perubahan iklim yang ada dari perspektif yang berbeda. Diharapkan di Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas (PRBSK) BRIN mencoba melihat perubahan iklim dalam melakukan kampanye dengan bahasa yang membumi dan mudah dipahami oleh masyarakat atau orang-orang awam.
Sependapat dengan Herry, Ade Mulyanah selaku Kepala PRBSK BRIN mengutarakan, “PRBSK berupaya untuk memberikan kontribusi pada perubahan iklim dan diharapkan dapat memberikan informasi dari riset. Isu perubahan iklim ini sudah menjadi pembahasan banyak pihak, dan menjadi isu terkini yang sudah berkembang di lingkungan. Isu perubahan iklim terkait dengan PRBSK adalah dalam konteks kebijakan bahasa dan sastra, sebagai contoh isu lingkungan yang dikaitkan dengan sastra itu banyak sekali seperti sajak atau sastra lingkungan, dan lain-lain,” ujarnya.
Ade mengatakan, BRIN dengan semangat kolaborasi, mengangkat riset tentang lingkungan. Isu lingkungan ini menjadi inklusif bagi sastra dan bahasa. Kalau dikaitkan dengan presidensi G20 banyak diangkat isu tentang lingkungan, di mana isu yang strategis dan sangat hangat dibicarakan. Isu perubahan iklim tidak bisa dibicarakan hanya temporer saja tetapi harus lebih sering diangkat untuk mendapatkan solusi yang baik.
Sementara Wiyatmi, Dosen atau Pengajar dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) mengatakan, “Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami ancaman terhadap perubahan iklim. Banjir, kekeringan panjang, tanah longsor, kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan terjadinya perubahan iklim di dunia”. Perubahan iklim adalah perubahan signifikan pada iklim, suhu udara, dan curah hujan mulai dari satu dasawarsa sampai jutaan tahun. Perubahan iklim dilihat dari peningkatan suhu terus menerus membuat pola cuaca berubah dan mengganggu keseimbangan alam. Kondisi tersebut dapat memicu risiko bagi makhluk hidup yang menempati bumi.
Wiyatmi mengutarakan faktor-faktor penyebab perubahan iklim antara lain aktivitas manusia (penggunaan listrik, pemakaian kendaraan bermotor, dan lain-lain), peningkatan gas rumah kaca (gas rumah kaca dapat menyerap serta memantulkan radiasi matahari sehingga membuat suhu bumi memanas), dan pemanasan global (kenaikan suhu bumi disebabkan oleh peningkatan emisi gas karbon dioksida dan lainnya), serta kerusakan fungsi hutan (penebangan hutan).
Wiyatmi juga menyampaikan bahwa seorang ilmuwan memiliki tanggung jawab sosial yang dipikul di bahunya. Fungsi ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individu, namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus mampu mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari.
Ilmu sastra dan ilmuwan sastra harus ikut ambil bagian dalam menghadapi masalah lingkungan hidup yang diakibatkan oleh perubahan iklim global. “Ilmuwan dapat melakukan kajian sastra yang menghubungkan karya sastra dengan isu lingkungan. Ilmuwan dapat merancang dan mengimplementasikan ekopedagogi dalam pembelajaran sastra di universitas/sekolah untuk mengembangkan ekoliterasi,” ungkapnya.
Amir Mahmud, Peneliti PRBSK BRIN menyoroti tentang masalah kehidupan makhluk di bumi dalam sastra, di mana ada pesan melalui kearifan lingkungan. Sastra sebagai ilmu lunak, sastra menyampaikan pengetahuan budaya dan peradaban manusia. Budaya merawat alam yang dicontohkan nenek moyang semakin hilang. Terjadinya perubahan iklim sebagian besar dilakukan oleh manusia. Penanaman etika menghormati alam harus terus dikobarkan untuk mencegah laju perubahan iklim. Amir mencontohkan, “Sastra dapat disampaikan melalui tradisi lisan, manuskrip, novel, cerpen atau puisi, dan sastra anak. Bisa juga melalui lirik lagu anak-anak, pop, campur sari, atau dangdut untuk tiada henti menyampaikan gagasan tentang kearifan lingkungan, baik cara merawat dan kerusakannya,” pungkasnya. (SUHE)