Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) menyelenggarakan Forum Diskusi Linguistik seri ke-3, Kamis (22/06). Kali ini tema yang dibahas yaitu Lanskap Linguistik dari Perspektif Semiotika.

Hadir sebagai narasumber yaitu Acep Iwan Saidi, Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB). Forum diskusi ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian yang dilakukan oleh peneliti BRIN dan berkolaborasi dengan peneliti di luar BRIN. Perlu diketahui, penelitian terkait lanskap linguistik tersebut dilakukan di empat kota, yaitu Bandung, Solo, Jakarta, dan Bandar Lampung.

Dalam pembahasannya, Acep menyampaikan prolog, bahwa semiotika adalah ilmu tanda. Sementara itu, dijelaskannya, bahasa adalah tanda yang paling sempurna. ”Saat satu kata dituturkan, misalnya ia akan membawa penutur pada sebuah lanskap konsep yang ada di baliknya kongkret maupun abstrak. Maka, di situlah semiotika bisa diperankan untuk menyingkap pesannya,” ucapnya. Dalam perkembangannya, bahasa itu sendiri tidak terbatas pada yang verbal, tetapi juga visual, audio, dll. ”Setiap yang ada di baliknya dianggap terdapat pesan, itulah bahasa. Disitu, lagi-lagi semiotika berdaya guna,” imbuhnya meguraikan.

Acep juga menyampaikan bahwa lanskap lingkuistik adalah salah satu bidang baru dan sangat menarik.  Ia mempermisalkan, jika kita melihat kota ini sudah sejak lama melalui sebuah bahasa. Kota itu banyak cerita dan dibangun dengan banyak cerita. Bahasa menjadi faktor penting dalam konteks pembangunan kota itu sendiri.  Bahasa tidak datang sendirian, bahasa datang dengan berbagai perangkat yang lain, misalnya teknologi. Bahasa datang bersama dengan aktivitas dan benda-benda. Maka dari itu lanskap linguistik membutuhkan disiplin-disiplin yang sangat beragam, misalnya politik, ideologi, dll. 

Semiotika, jika disederhanakan adalah persoalan bahasa. Acep lalu menerangkan ada dua pelopor semiotika yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Semiotika adalah ilmu tafsir tanda. Bahasa adalah tanda yang paling sempurna. Jadi dapat dibilang juga semiotika adalah ilmu menafsir bahasa. Bahasa itu tidak berhenti hanya pada soal verbal tapi juga meliputi visual, audio, dan objek.  Segala sesuatu jika dipahami maka akan terdapat pesan  dan makna.

Lebih lanjut Acep menjelaskan bahasa yang bersifat arbitrer. Sistem pemberian nama atau sistem pengadopsian bahasa yang dikenakan ke dalam objek atau fenomena atau ke dalam realitas itu bersifat nomenklatur. Ketika proses penamaan dan proses nomenklatur terjadi, maka hal itu adalah proses sedang memindahkan realitas ke dalam bahasa. Bunyi-bunyi akan bermakna jika mempunyai ruang dan waktu.

Kemudian, istilah konotasi dipakai merujuk pada asosiasi-asosiasi, sosio kultural, dan personal dari tanda, contohnya ideologi, emosi, dll. Khususnya berkaitan dengan kelas/ status sosial, usia, gender, etnistas, dll. Hampir di setiap tempat manapun terdapat metafora. Metafora menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Bahasa menjadi gudang tempat menyimpan realitas (konkret, maupun abstrak). Lalu bahasa membebaskan kita dari beban realitas. ”Lanskap linguistik sejatinya mendorong kita masuk ke dalam linguistik pos strukturalis dan analisis wacana yang lebih kompleks,” terangnya. Bahasa Indonesia adalah bahasa budaya. Untuk itu, harus dikembangkan terus-menerus menjadi bahasa kebudayaan karena bangsa Indonesia kaya akan hal itu. (Amn/ed: And)