Penelitian Tahun 2011
 
Abstrak:
 
Pergeseran sistem desentralisasi dan otonomi daerah era reformasi turut merubah kedudukan dan peran gubernur sebagai lembaga yang memainkan peran sentral dalam hubungan Pusat-Daerah. Meskipun gubernur memiliki peran ganda baik sebagai wakil pemerintah pusat maupun wakil masyarakat di daerah, posisi ini tampak ambigu ketika kabupaten/kota diberi juga kekuasaan (otonomi) untuk mengatur dirinya sendiri. Pemberian otonomi kewenangan yang luas dan sekaligus pemilihan langsung kepala daerah di saat yang sama di tingkat propinsi dan kabupaten/kota turut menyebabkan ambiguitas peran ganda gubernur. Sementara itu, di samping tidak ada klausul mengenai “hierarki” antar tingkat pemerintahan, UU No.22/1999 maupun UU No.32/2004 juga tidak mengatur dengan jelas fungsi dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Ambiguitas hubungan antartingkat pemerintahan ini diasumsikan memunculkan pelbagai permasalahan baik berupa tidak tersampaikannya program-program pemerintah pusat hingga ke masyarakat bawah maupun konflik antara propinsi dan kabupaten/kota. Meskipun pemerintah mengeluarkan PP No.19/2010, yang kemudian diperbarui dengan PP No.23/2011, untuk mengatasi permasalahan antartingkat pemerintahan, efektifitas PP ini masih diragukan oleh banyak pihak. PP ini dapat tidak berlaku di daerah-daerah yang memiliki status sebagai daerah khusus/istimewa, terutama Aceh dan Papua. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi gubernur akibat dualisme perannya diasumsikan sangat kompleks di daerah otonomi khusus, meskipun titik berat otonomi di daerah ini terletak di provinsi.