Title: Jurnal Penelitian Politik Vol. 5 No. 1 Tahun 2008
Type: Book
Author: Mochtar Pabottingi, Lili Romli, R.Siti Zuhro, Sarah Nuraini Siregar, Ganewati Wuryandari, M. Hamdan Basyar, Firman Noor, M. Hamdan Basyar, Irine Hiraswari Gayatri, Nyimas Latifah Letty Aziz.
Publisher: LIPI Press
Year: 2008
Catatan Redaksi
Salam dari meja redaksi!
Kemanakah Bangsa ini Akan Melangkah?
Sampai kapan kira-kira transisi demokrasi ini dapat kita lewati?
Teka-teki transisi demokrasi Indonesia, begitulah tema besar Jurnal Penelitian Politik kali ini. Di tengah isu buruknya penyelenggaraan Pemilu 9 April 2009, Jurnal Penelitian Politik mengevaluasi perjalanan transisi demokrasi di Indonesia sejak bergulir sepuluh tahun yang lalu.
Transisi — sebuah perubahan secara perlahan-lahan secara drastis, telah dijalani oleh Indonesia. Indonesia saat ini tercatat sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan India. Selama ini, transisi ditandai oleh perubahan demi perubahan yang seakan-akan tanpa ujung (berkesudahan). Transisi kita cenderung berpola dari change to change, dari satu perubahan ke perubahan, yang mirip lingkaran setan. Sampai kapan kita akan berada pada masa transisi, akankah kita terjebak pada laku transisi yang terus menerus.
Salah satu faktor masalah ini dipengaruhi oleh lakunya para pemimpin kita. Lakunya para pemimpin negeri ini menurut Mochtar Pabottingi ibarat orang melangkah tanpa tujuan. Seakan-akan bangsa ini tetap eksis walauapun tidak memiliki pemimpin. Ini sebagai dampak, peletakkan dasar bangsa ini masih lemah, karena pemimpin yang ada masih cenderung “gamang” untuk berbuat bagi kebajikan negeri ini. Kita seakan-akan tidak sedang berada dalam kondisi normal, tetapi kita terpuruk dan terjerembab dalam situasi krisis yang terus menerus.
Pemimpin cenderung memikirkan kepentingannya sendiri, dan bukan memikirkan kepentingan nation dan rakyat Indonesia.Segelintir figur yang di awal era upaya reformasi prospektif menjadi pemimpin nasional ternyata mudah tertekuk menjadi kompromistis, kehilangan elan reformasi, berpikir jangka pendek, dan dengan demikian mengikis sendiri prospeknya. Padahal, demokrasi memerlukan seorang pemimpin yang konsisten dan kuat, untuk bukan saja membumikan nilai-nilai demokrasi, tetapi menjadikan demokrasi sebagai guidance demi terciptanya kesejahteraan rakyat. Kehadiran pemimpin dan elit penting agar kualitas demokrasi terjaga dan bermutu. Tetapi, apa yang terjadi di awal 2009 adalah getirnya pelaksanaan pemilu dengan banyak partai yang justru semakin jauh dari kualitas demokrasi.
Sistem politik kita tidak mengarah pada pendewasaan politik (mature of politics), tetapi cenderung terbelah pada fragmentasi politik yang semakin tajam. Lahirnya partai-partai politik yang cenderung kurang memiliki kemampuan dalam mengelola kelembagaan partai menyebabkan partai justru menjadi beban negara. Ulasan mengenai ini disampaikan secara runut oleh Lili Romli. Bahwa menjamurnya partai-partai politik sejak 1999, bukan berarti mempermudah sistem politik kita, tetapi justru yang terjadi adalah partai menjadi kendaran politik yang didasarkan pada kepentingan-kepentingan kelompok (primordial).
Faktor lain adalah peran birokrasi yang tampaknya masih belum berubah. Birokrasi di Indonesia masih mengalami hambatan struktural dan kultural. Banyaknya tokoh-tokoh lokal yang dipenjara akibat korupsi, manajemen pemerintahan daerah yang cenderung kurang efisien, format birokrasi pemerintahan daerah yang masih belum berubah dan lain sebagainya, merupakan sisi lain masalah transisi demokrasi yang masih kita hadapi. Birokrasi telah terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan politik kelompok, dan partai politik menjadi salah satu aktor yang melakukan intervensi terhadap birokrasi. Dampaknya, reformasi birokrasi seperti mandeg di tengah jalan.
Evaluasi lain atas perjalanan transisi demokrasi kita juga tampak dari amanat reformasi 98, khususnya agar TNI-POLRI keluar dari dunia politik. Capain atas reformasi bidang Security Sector Reform (SSR) tampaknya lebih bagus ketimbang reformasi birokrasi dan reformasi sistem politik kita. Namun, kelemahan yang justru menonjol terjadi pada lembaga kepolisian, semenjak ada pemisahan POLRI dari ABRI (dan ABRI berubah menjadi TNI), polisi kita diharapkan secara lambat tapi pasti akan menjadi polisi sipil. Tetapi, langkah tersebut setelah 10 tahun reformasi berjalan tampaknya masih jauh panggang dari api.
Secara umum, kita sudah bergerak dari sistem otoritarian menuju sistem demokrasi. Tetapi, transisi tersebut masih terlalu bertumpu pada demokrasi yang prosedural ketimbang demokrasi yang substansil. Kualitas demokrasi kita tampaknya masih jauh, belum menuju ke arah kedewasaan dalam berdemokrasi dan berpolitik.
Akhirnya, redaksi Jurnal Penelitian Politik Pusat Penelitian Politik-LIPI berharap sejumlah artikel yang dimuat pada edisi kali ini, memutar jarum jam ingatan kita atas perjalanan reformasi dan transisi demokrasi negeri ini. Dari sanalah kita dapat merenungkan, apa yang patut kita perbaiki dan bagaimana kita mendorong kualitas demokrasi yang lebih baik di masa-masa mendatang. (REDAKSI)
DAFTAR ISI
Artikel:
· Lakuna Pemimpin Versus Kristalisasi Politik (Mochtar Pabottingi)
· Masalah Kelembagaan Partai Politik di Indonesia Pasca Orde Baru (Lili Romli)
· Reformasi Birokrasi Lokal Melalui Pelayanan Terpadu (R. Siti Zuhro)
· Evaluasi Sepuluh Tahun Reformasi Polri (Sarah Nuraini Siregar)
· Politik Luar Negeri Indonesia: Refleksi dan Prediksi 10 Tahun (Ganewati Wuryandari)
· Dinamika Peran Ulama dalam Perpolitikan Nasional Pasca Orde Baru (M. Hamdan Basyar)
Resume Penelitian :
· Nasionalisme, Demokratisasi dan Sentimen Primordialisme di Indonesia: Problematika Identitas Keetnisan versus Keindonesiaan (Studi Kasus Aceh, Papua, Bali dan Riau) (Firman Noor)
· Peran Elit Lokal Dalam Reintegrasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Pasca-Penandatanganan Mou Helsinki (M. Hamdan Basyar)
· Dinamika Kelembagaan Desa: Gampong Era Otonomi Khusus Aceh (Irine Hiraswari Gayatri)
Review Buku
· Peran Marketing dalam Dunia Politik (Nyimas Latifah Letty Azis)