Ditulis oleh Athiqah Nur Alami, Rabu, 16 Januari 2013
“Pohon kelapa cuma punya 10 pohon.. itupun syukur jika ada buahnya, kalau tidak ada (buahnya), ya mau cari uang kemana.. termasuk (kebun kelapa) yang kena (rencana pembangunan) bandara.. sekarang (pohon kelapa) tidak ada sudah habis.. sekarang tinggal pikiran manusia yang bisa berpikir untuk mencari (uang).. jadi sekarang tinggal mengandalkan bapak (dari melaut) untuk mencari (uang)..”
(Ibu Hermina, istri nelayan di Pulau Miangas)
Petikan kalimat yang meluncur dari seorang istri nelayan di atas, pada satu sisi, mencerminkan tingginya tingkat ketergantungan masyarakat setempat dari ketersediaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sementara di sisi lain, pernyataan tersebut juga menyiratkan kegundahan dan kekhawatiran hilangnya potensi sumber mata pencahariaan mereka dari alam sebagai akibat dari kebijakan pemerintah Indonesia yang dianggap kurang tepat sasaran. Selama ini sektor perikanan dan perkebunan merupakan sumberdaya alam andalan di Miangas. Selain berprofesi utama sebagai nelayan, masyarakat di Miangas baik laki-laki maupun perempuan juga merupakan petani kebun. Dalam konteks inilah, maka kebijakan pemerintah Indonesia untuk membangun bandara di Pulau Miangas dalam rangka membuka aksesibilitas wilayah tersebut akan kontraproduktif. Persoalannya, pembangunan bandara di pulau tersebut akan mengorbankan puluhan ribu hektar lahan kebun kelapa yang merupakan sumberdaya alam andalan masyarakat selain sumberdaya ikan. Dengan kata lain, kehadiran bandara dapat mengancam eksistensi masyarakat terkait dengan kedaulatan dalam pengelolaan sumberdaya alam, baik di sektor perikanan maupun perkebunan.
Relasi Gender dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
Proses pengelolaan sumberdaya alam merupakan aktivitas sosial ekonomi yang melibatkan partisipasi segenap komponen masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan kata lain, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam terkait erat dengan gender karena didalamnya terkait persoalan relasi kuasa dan peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam menjadikan alam sebagai sumber kehidupan. Kondisi ini juga terjadi di pulau Miangas, dimana laki-laki dan perempuan terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya perikanan dan perkebunan.
Aktivitas melaut sebagai proses awal pengelolaan sumberdaya ikan umumnya dilakukan oleh nelayan laki-laki di Miangas. Mereka juga berperan dalam mempersiapkan alat dan sarana tangkap untuk melaut. Meskipun begitu, para istri nelayan berkontribusi secara produktif dalam mendukung aktivitas perikanan, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan rangkaian proses pengelolaan sumberdaya ikan. Istri nelayan di Miangas, misalnya, berperan dalam menjual dan mengolah hasil tangkapan. Mereka menjualnya dengan menjajakan ke tetangga sekitar ataupun keluar pulau. Bahkan ikan hasil tangkapan seringkali menjadi komoditi barter antar masyarakat di Miangas, karena ketiadaan pasar sebagai tempat jual beli produk perekonomian. Ikan biasanya dibarter dengan sembako yang mereka butuhkan. Selain itu, istri nelayan mengolah hasil tangkapan menjadi ikan asap (pupu), ikan asin, dan teripang kering yang dapat meningkatkan nilai jual ikan.
Situasi yang tidak jauh berbeda juga terlihat terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam di sektor perkebunan. Dalam melakukan berbagai rangkaian aktivitas berkebun baik dengan tujuan konsumsi sendiri maupun untuk dijual, laki-laki dan perempuan melakukannya secara bersama-sama. Memang tidak ada pembagian yang tegas antara laki-laki dan perempuan di sektor perkebunan. Peran laki-laki umumnya membuka lahan perkebunan dengan menebas pohon dan mencangkul. Dengan kata lain, jenis pekerjaan yang memerlukan tenaga besar dan fisik kuat. Sementara itu, perempuan bertugas diantaranya menyebar bibit, menyiram, membersihkan kebun dan memanen hasil kebun. Pada awalnya, perempuan di Miangas melakukan aktivitas menganyam tikar dari daun pandan, yang merupakan salah satu hasil perkebunan di Miangas. Tikar-pandan ini pernah menjadi salah satu industri rumah tangga yang paling utama dan umum di pulau Miangas. Bahkan kaum perempuan menekuni kerajinan anyaman ini untuk mendapatkan uang atau menukarkannya dengan bahan makanan. Namun kondisi terakhir menunjukkan bahwa tidak banyak lagi perempuan di Miangas yang menjalankan aktivitas ini. Mereka saat ini lebih memilih berkebun dan membuka warung di rumah untuk menambah pendapatan keluarga.
Dalam konteks inilah, maka perempuan memiliki peran yang tidak dapat diabaikan dalam pengelolaan sumberdaya alam, baik perikanan maupun perkebunan, meski dalam porsi dan proporsi yang berbeda-beda. Pada sektor perikanan, misalnya, perempuan memang tidak terlibat langsung dalam proses penangkapan ikan, yang dianggap merupakan aktivitas utama dari sektor perikanan. Dalam konstruksi sosial budaya kehidupan masyarakat nelayan pada umumnya, menurut Kusnadi (2010), melibatkan sifat pekerjaan yang menyita banyak waktu karena sebagian besar waktu dihabiskan untuk melaut. Kondisi ini berakibat pada adanya pembagian kerja seksual yang lebih tegas dalam masyarakat nelayan, yaitu laki-laki bertugas untuk melaut sementara perempuan mengurusi rumah tangga. Selain itu, budaya patriarki dan patronase masih menjadi bagian dalam kehidupan nelayan. Budaya patriarki masih mempengaruhi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki lebih banyak bergerak di sektor produktif, sementara perempuan di reproduktif dan pengolahan hasil perikanan.
Selain itu, dalam konstruksi sosial di masyarakat Miangas terdapat pemahaman dan persepsi bahwa laki-laki merupakan pihak yang dianggap paling tepat untuk melaut. Alasan yang diungkapkan oleh para nelayan lebih didasarkan pada adanya persepsi bahwa perempuan dipandang sebagai kelompok yang lemah secara fisik sehingga tidak layak untuk melaut. Para nelayan juga melarang istri melaut dengan alasan untuk menjaga kecantikan istri karena adanya anggapan bahwa fungsi istri adalah melayani suami dan menyenangkan hati suami. Selain itu, tugas utama istri berada pada level domestik dan reproduktif. Nelayan laki-laki menganggap bahwa urusan domestik adalah “jalur” para ibu-ibu. Dalam derajat tertentu, persepsi ini sebenarnya tidak menjadi masalah karena istri menerima hal tersebut. Namun dalam konteks analisis gender, hal tersebut merupakan bentuk dari stereotip yang diberikan oleh nelayan kepada istrinya. Dalam realitanya, istri nelayan memang tidak dilibatkan secara langsung dalam aktivitas melaut namun mereka berperan penuh dalam tahapan pasca melaut.
Sementara itu, peran perempuan pada sektor perkebunan tidak kalah signifikannya. Ketika laki-laki melaut, perempuan juga berperan secara produktif dengan berkebun. Namun jika laki-laki tidak melaut, karena berbagai kendala, maka istri turut ke kebun bersama istri. Hal di atas menunjukkan bahwa perempuan di Miangas selalu terlibat dalam aktivitas pengelolaan di sektor perkebunan dalam situasi sendiri atau bersama suami. Bahkan dapat dikatakan perempuan sebagai pelaku utama sektor perkebunan dibandingkan dengan laki-laki. Peran di sektor perkebunan ini tentunya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang dianut oleh perempuan itu sendiri dalam relasinya dengan suami. Beberapa perempuan tidak terlibat banyak dalam pengelolaan sumberdaya ikan dan lebih memilih berkebun atau bertani karena kegiatan tersebut terkait dengan tanggungjawab mereka untuk menyediakan kebutuhan pangan bagi keluarga. Kebutuhan makanan tersebut salah satunya dapat dipenuhi melalui hasil yang didapat dari kegiatan berkebun. Perempuan juga memiliki perspektif sendiri tentang aktivitas apa dalam rangkaian pengelolaan sumberdaya ikan yang cocok bagi mereka dan memperkuat pentingnya posisi laki-laki yang bertanggungjawab utama dalam melaut. Para istri nelayan meyakini bahwa aktivitas utama dalam melaut tetap merupakan tanggung jawab laki-laki. Hal ini dilakukan untuk memelihara posisi sosial perempuan dalam pengelolaan SDI dimana perempuan menegaskan “tempat” mereka dalam proses ini. Dalam konteks ini, perempuan sendiri menciptakan identitas sosialnya dengan mereproduksi dan menegaskan wacana gender konvensional atas peran dan posisi perempuan yang diterima dalam rangka memasukkan dan melegitimasi kehadiran mereka dalam arena publik.
Bandara dan Potensi Marginalisasi Perempuan
Relasi gender juga dapat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang terkait dengan kehidupan masyarakat. Salah satu kebijakan pemerintah yang diyakini akan mempengaruhi pengelolaan sumberdaya alam adalah pembangunan bandara di Miangas. Kebijakan tersebut sebenarnya dapat dianggap sebagai momentum perubahan dalam masyarakat. Dengan adanya bandara maka diharapkan Miangas akan menjadi wilayah yang lebih terbuka dan lebih mudah dalam hal aksesibilitas. Dengan kondisi tersebut bandara akan membawa efek ganda bagi pembangunan dan perekonomian di Miangas. Namun di sisi lain, pembangunan bandara di Miangas akan mengorbankan salah satu sumberdaya alam yang menjadi andalan masyarakat Miangas selain perikanan yaitu sektor perkebunan. Pembangunan bandara akan dilakukan dengan menebang sebagian besar pohon kelapa milik masyarakat di Miangas yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, seiring dengan berkurangnya lahan perkebunan kelapa di Miangas maka masyarakat Miangas harus mengandalkan laut sebagai sumber utama mata pencahariaan mereka. Dalam konteks ini, maka kehadiran bandara dapat berpotensi pada penciptaan marginalisasi ekonomi khususnya perempuan sebagai pelaku utama sektor perkebunan.
Terlepas dari hal di atas, kehadiran bandara semestinya dapat menggerakkan perekonomian di Miangas dan tidak justru menimbulkan persoalan ekonomi yang baru. Di satu sisi, bandara diharapkan dapat membuka aksesibilitas pulau Miangas yang selama ini terpencil, sehingga perekonomian dapat tumbuh dengan baik dan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Namun pada sisi yang lain, kehadiran bandara berpotensi mematikan sumber perekonomian masyarakat yang menempatkan sumberdaya alam sebagai andalan masyarakat setempat. Perempuan sebagai pelaku dominan sektor perkebunan akan mengalami marginalisasi ekonomi dalam bentuk pemiskinan. Menurut Mansour Fakih (1998), marginalisasi ekonomi merupakan salah satu manifestasi dari ketidakadilan gender selain subordinasi, beban ganda, stereotip dan kekerasan. Marginalisasi merupakan suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan dan penyebabnya dapat muncul oleh berbagai kejadian, salah satunya kebijakan pembangunan. Introduksi terhadap teknologi baru dan program pemerintah, misalnya, dapat menggusur posisi dan peran perempuan dalam berbagai sektor kehidupan, salah satunya dalam pengelolaan sumberdaya alam. Akibatnya, perempuan akan tersingkir, sehingga terjadi proses pemiskinan terhadap perempuan.
Dalam konteks pembangunan bandara di Miangas sebagai bagian dari kebijakan pemerintah inilah nampaknya pemerintah tidak memperhatikan aspek gender. Berkurangnya lahan perkebunan akibat pembangunan bandara akan semakin berpotensi menciptakan marginalisasi ekonomi bagi kaum perempuan di Miangas, karena selama ini mereka lah yang lebih banyak melakukan aktivitas berkebun. Ketika perempuan di Miangas tidak lagi memiliki pemasukan tambahan dari hasil berkebun, maka posisi perempuan akan semakin terpuruk. Padahal kebun kelapa menjadi salah satu sumber pemasukan masyarakat nelayan, khususnya dalam bentuk kopra yang dijual ke luar pulau Miangas. Harga jual kopra mencapai Rp 600.000 untuk sekali jual dimana dalam setahun mereka dapat berjualan sebanyak dua kali. Potensi pemasukan dari kopra ini akan menghilang seiring dengan pendirian bandara yang belum tentu dapat secara signifikan dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi para perempuan di Miangas. Secara dini memang dapat diprediksi bahwa kehadiran bandara akan membawa efek ganda bagi pembangunan ekonomi di Miangas. Salah satunya adalah akan tumbuh potensi perekonomian baru seperti toko, warung dan penginapan. Selain itu, barang-barang asli Miangas, salah satunya kerajinan tikar pandan, akan dapat dijual ke negara Filipina, sehingga nilai jual Miangas akan bertambah. Namun, hal tersebut tidak akan dapat dengan mudah tercipta mengingat tipe masyarakat di Miangas yang sangat bergantung dan mengandalkan ketersediaan sumberdaya alam untuk kelangsungan hidupnya.
Salah satu akibat yang lebih mungkin akan terjadi adalah kembali diandalkannya sumberdaya perikanan yang melimpah sebagai sumber mata kehidupan masyarakat. Namun, ketidakstabilan pasokan ikan hasil tangkapan akibat cuaca dan ketersediaan bahan bakar menjadikan istri nelayan harus berpikir lebih keras untuk menambah pendapatan keluarga selain dari melaut. Hasil tangkapan nelayan perahu tanpa mesin (dayung/sampan) di Miangas, misalnya, cenderung tidak terlalu banyak. Mereka tidak dapat melaut terlalu jauh karena keterbatasan jangkauan melaut dan alat/sarana melaut. Melaut lebih jauh akan berbahaya bagi keselamatan nelayan. Jika ombak di laut sedang besar dan cuaca sedang kencang, maka mereka dapat hanyut. Dalam kondisi ini maka tidak ada jaminan bahwa nelayan akan kembali ke rumah dengan selamat. Jika istri nelayan perahu tanpa mesin dihadapkan pada situasi ini, maka istri nelayan berpotensi menjadi orangtua tunggal sehingga harus bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dalam kondisi inilah, proses marginalisasi ekonomi terhadap istri nelayan akan terjadi, terlebih ketika istri tidak memiliki pemasukan tambahan. Selain itu, potensi marginalisasi ekonomi terhadap istri nelayan, secara tidak langsung, akan mungkin terjadi jika tidak ada perkembangan teknologi dalam hal alat dan sarana melaut nelayan. (Athiqah Nur Alami)
Sumber: http://politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/jender-and-politik/764-potensi-marginalisasi-ekonomi-perempuan-dalam-pengelolaan-sumberdaya-alam-di-pulau-miangas-